Aku hanya mendengarkan alunan musik yang keluar dari salah satu stasiun radio sore itu. Tak ada aktivitas lain, sebab hujan telah lama menemani sejak siang tadi. Daun-daun lebih berwarna dan tanah menjadi lembek dengan rintik hujan masih saja turun teramati dari balik jendela kamar.
“Hei...kau telah ditunggu.” Ada suara yang membisik masuk ke dalam kamar.
“Kau telah ditunggu seseorang, bukankah kau telah janji padanya untuk datang?” Lanjutnya lagi.
Kulihat sekeliling tak ada orang, bahkan seekor burung pun yang biasanya berseliweran di depan pintu kamar tak menampakkan diri. Masa hujan itu yang bicara padaku, pikirku. Suara itu berulang, “Kau telah ditunggu...”
Ku amati, ku dengarkan dengan seksama, dan benar, hujan itulah yang berbicara padaku.
“Kau yang menyampaikan pesan itu?” Tanyaku pada hujan.
“Ya...” jawabnya.
“Mengapa kau mengatakannya?”
“Karena kau telah membuat janji.”
“Bukankah kau sadar, kau dan kawananmu turun ke bumi tak henti-hentinya, sehingga aku enggan melangkahkan kaki keluar.”
“Maaf teman, aku memang datang lebih sering akhir-akhir ini. Tapi ketahuilah, ini adalah tugas dari Tuhanku untuk membasahi bumi. Yaah, meskipun kadang aku agak berlebihan dan manusia-manusia seperti hidup di tengah lautan. Sekali lagi ketahuilah, ini adalah perintah Tuhan, dan aku tidak mungkin menolak atau mengingkarinya semudah kamu dan teman-temanmu melakukannya. Aku hanya mengingatkanmu bahwa kau punya janji. Janji adalah janji teman, dan itu akan di bawa sampai mati kalau tidak ditepati.”
“Ya...ya...aku akan berangkat, lagi pula aku memang ingin segera melihat wajah cantik itu. Tapi kalau aku boleh meminta, janganlah terlalu cepat jalanmu ke tanah. Pelankan sedikit kecepatanmu pada kecepatan gerimis. Bukankah semakin kencang dirimu, akan semakin sakit saat kau menumbuk tanah?”
“Teman, aku bukan benda pejal seperti kalian. Aku adalah cair dan tanah itu pun tidak padat, ia berongga. Pelan atau cepat, aku tetap akan terserap meski kadang lama. Tapi baiklah, aku akan berusaha menyampaikan permintaanmu kepada teman-temanku yang lain. Namun keputusan tetap di tangan Tuhan.”
Aku pun segera bergegas ke tempat seseorang yang padanya ku berjanji datang. Ku segera menstater motor, dan melaju menyusuri jalan-jalan yang agak sepi karena keengganan orang-orang untuk berbasahan. Aku tidak sendiri, aku masih ditemani hujan yang tak henti-henti mengguyur.
“Hei!!” kataku pada hujan. “Kadang kau tak muncul dalam waktu yang lama, apa yang sebenarnya kau lakukan?”
“Adanya aku adalah dari siklus atau perputaran. Saat aku jatuh, aku terserap lalu tertahan oleh akar-akar pohon yang ditanam manusia lalu aku muncul pada sumber-sumber air seperti sumur, danau atau mengalir ke laut untuk kemudian sinar matahari mengubahku ke bentuk lain yang sangat ringan, berkumpul menjadi awan dengan banyak model, cumullus atau cirrus. Dan angin-angin itu menggesekkan panasnya hingga aku pun berubah wujud lagi seperti semula, cair dan jatuh ke bumi. Namun karena ada sebagian atau mungkin banyak manusia yang merusak alamnya, menjadikan siklusku tidak lancar, bukan siklus kewanitaan, tapi siklus kehujanan. Tapi yang paling tak bisa ku sangkal, adalah kadang-kadang Tuhan menahanku untuk waktu yang lama agar tak mengunjungi bumi, ini adalah hak preogatip-Nya. Karena Tuhan masih terlalu sayang pada penduduk bumi, sehingga mereka selalu diingatkan, meski kadang tak merasa.”
Aku hampir ngantuk mendengar penjelasan hujan yang panjang, lebar dan tinggi kalau saja tidak tersadarkan oleh lampu merah. Aku berhenti, dan ku rasakan bagian dalam tubuhku dingin dan basah.
“Hujan!!!” kataku lantang sambil menunduk ke bagian perut ke bawah, “Mengapa kau sampai masuk-masuk ke situ? Apa tak kau lihat seluruh badanku sudah keriput karena ulahmu, masih ingin kau buat keriput lagi bagian itu?”
“Apa yang bisa ku lakukan? Tuan gravitasi telah menarikku melalui serat-serat baju dan celanamu. Sebenarnya ku ingin berhenti diantara langit dan bumi hingga membuatku seperti tirai yang memenuhi bumi ini. Namun ku rasa guru kelasmu sudah pernah memperkenalkanmu perihal tuan gravitasi yang mempunyai nilai hampir sepuluh, yaitu 9,8 dan kita tak mungkin menghindarinya.”
Tak ku gubris lagi hujan itu yang membawa-bawa nama guruku. Padahal guru-guruku tak semuanya mampu menjelaskan perihal tuan gravitasi meskipun bertitel S1, S2, atau es thung-thung. Selain itu juga karena aku sudah sampai di depan rumah seorang gadis yang padanya ku berjanji. Ku rapikan diri yang telah kumal oleh hujan dan ku siapkan hatiku untuk memandang wajah cantik itu.
“Theeet...theeet...,” ku pencet bel yang menempel di tembok pengait pintu gerbang. Soerang wanita setengah baya muncul.
“Cari siapa Mas?” Tanyanya.
“E...e...anu Dini nya ada?” Jawabku menyebut nama seorang gadis.
“Oo...mbak Dini nya lagi keluar Mas!” Jawab wanita itu.
Ku dengar di belakangku serentetan suara hujan yang makin deras seakan bersorak untukku, tapi ku yakin bukan itu maksudnya. Ku tunggu, sedetik...dua menit...tiga puluh menit...dan satu jam pas tak kurang tak lebih, belum juga pulang. Akhirnya aku mohon diri dan ku pacu motorku kembali ke barak, maksudku ke kost. Lagi-lagi tidak sendiri, aku masih ditemani hujan yang selalu setia malam itu. Bedanya mereka tidak lagi banyak omong, mungkin mereka juga merasakan kekecewaanku. Aku juga yakin, hujan-hujan itu tak tahu jika akan seperti ini. Mereka hanya mengingatkan janji yang telah ku buat, dan itu harus ditepati. Yaah...walaupun akhirnya hanya sebuah janji hujan.
Tubuhku benar-benar keriput oleh hujan, tidak hanya badanku, tapi benar-benar seluruh tubuhku dari yang terluar sampai yang terdalam ketika aku sampai di depan kamar kost. Di pintu ada selembar kertas tertancap sebuah push pin dengan tulisan cakar ayam, tapi masih bisa terbaca:
“Tadi ada telpon dari Dini, ia nggak di rumah. Keluar nonton. Sorriii...”
(Jogja, January 30, 2004)
No comments:
Post a Comment