Monday, February 18, 2013

Togian Island


Hujan (Lagi) dan (Lagi-Lagi) Hujan


Hujan lagi berpesta akhir ini dengan riangnya, menggenangi apapun yang tak terlindung. Panas tak pernah bertahan lama, tersapu seketika oleh hujan yang mengamuk menyusur jalan melumat segenap roda yang melintas. Kemacetan dimana-mana satu jam untuk satu kilometer. Ah, telah lama tak ku sapa hujan, Ia semakin dewasa dalam wujudnya memeluk Indonesia dengan eratnya. Ya…seluruh stasiun televisi baik yang plat merah atau plat hitam ramai-ramai menayangkan dampaknya. Hujan telah menjadi primadona di negeri ini. Negeri yang tak becus diurus oleh pengurusnya. Ah, telah lama tak ku sapa hujan, sejak si vita yang mengisi garasiku datang. Ia yang mencegahku bersua hujan, bukan semata karenanya…namun memang aku yang menghendakinya. Tubuh ini seperti renta dalam coba , tak bisa lagi bergumul hujan. Namun itu peringatan bagi orang-orang yang semakin lupa pada Sang Cipta. Ah, telah lama tak ku sapa hujan, sejak kekasihku telah bersanding di ranjangku, tak lagi ku utus hujan menyampaikan salamku padanya. Salam yang setiap detik terucap, dan salam yang setiap detik mengharap. Telah lama hujan menjadi agen mata-mataku untuknya, sedang apa kekasihku disana. Apakah ia sedang tidur dengan bibir lelapnya, atau ia sedang memandang riang dengan bulat bola matanya. Ah, tak ada lagi itu…sejak kekasihku telah bersanding di ranjangku. Ah, telah lama tak ku sapa hujan, bermain riang dalam basah atau berangan liar dalam rentetatnnya. Aku tak lagi sendiri, pun tak lagi berdua…sebab peri kecil telah diberikan padaku oleh Yang Satu. Begitu luar biasanya ia, mengajakku bermain dalam canda. Hari-hari terasa penuh dengan kenikmatan mendidik amanah-Nya. Tangis, senyum, teriak, dan kata-kata yang sedikit-demi sedikit tersusun dalam imajinasinya telah menjauhkan ku dari hujan. Ah, hujan….ah, hujan….salamku untukmu kawan! [Limus, 26 Oktober 2010]

Penarik Rakit dan Sang Angsa


Penarik rakit menambatkan rakitnya diiringi suara adzan maghrib, senja merah terlihat di sisi barat sedang danau bersiap memulai simfoninya. Ia berjalan menuju pondok bambunya yang telah ditempatinya selama bertahun-tahun. Daun-daun kering pohon bamboo berserakan di halaman rumahnya, tak pernah ia membersihkannya dibiarkan menutupi tanah. Itulah yang memberinya kedamaian alam yang sesungguhnya. Penarik rakit terjaga dari tidur saat serombongan berkas sinar mentari menerobos lewat celah-celah bilik mambunya. Ia terlambat memulai hari dari yang seharusnya, subuh telah jauh meninggalkannya dan terperangkap oleh pagi yang terang. Seakan-akan mulai berhitung tidak dari angka pertama, tapi dari tiga atau empat, ada yang hilang. Penarik rakit selalu ingin memulai dari garis awal bersama mahluk lain menjalani sampai garis akhir hari, tapi tidak kali ini. Ia duduk termangu disisi pinggir tempat tidurnya, mengingat apa yang berbeda dengan malam lalu yang berdampak hari ini. Penarik rakit telah membuka berlembar-lembar gambaran sang angsa di memorinya semalam, memberinya sensasi perasaan yang berganti-ganti tergantung lembaran mana yang sedang ia buka. Berulang….berulang….lagi…dan lagi….sampai dini hari menjadi permulaan ketidak-terjaga-an nya. “Pengalaman adalah guru yang paling baik, dan memori yang tersimpan adalah pembentuk diri kita”, gumamnya. Hmmm…ia berjalan keluar menengok rakit yang masih tertambat dengan embun-embun yang sepenuhnya telah manguap. Ia telah kehilangan keindahan pagi, pergantian dari yang gelap ke yang terang, dari yang sunyi jangkrik ke yang riuh ayam jantan, semua itu tak didapatkannya karena inginnya menghampar kisah lalunya. (Sulewana, 18 Desember 2011)

SANG PANGERAN DAN KUPU


Kupu-kupu terbang tinggi menarik hati sang pangeran// Pangeran terkesima, mengikut kemana sang kupu berlari// Hinggap satu pohon dikejar, mencium bunga dipandang// Pun sang kupu terus menari, berputar…berputar… Diikut sang pangeran// Sang kupu bersua kawan, Keindahan lain dari sebelumnya// Sang pangeran bingung, menyerah pada hasrat Mengejar sang kupu kedua// Sedang, sang kupu ketiga, keempat, kelima,…dan keseratus menunggu dibalik bunga// Sang pangeran hanya kagum keindahan// Keindahan yang berwarna-warni// Keindahan yang belum pernah ia rasakan// Keindahan yang tiada habisnya dicipta Tuhan. [Limus, 26 Oktober 2010]