Sunday, April 19, 2009

Janji Hujan 02

“Tik…tik…tik…bunyi anu di atas anu, anunya Anung tidak terkira. Cobalah tengok anunya Anung, anunya Anung basah semua…”
Hujan itu bernyanyi di luar kamarku dengan suaranya yang tidak merdu, mengalun seperti rentetan peluru. Aku ingin tertawa mendengar lirik yang diplesetkan oleh kawanan air jatuh itu.
“Kau tak usah menghiburku, kekecewaanku tak seperti yang kau pikirkan!” kataku pada hujan di pagi yang dingin.
“Lagi pula kejadian itu juga sudah beberapa hari yang lalu, sehingga aku sudah melupakannya.”
“Ya….siapa tau kau perlu hiburan.” Katanya. “Hei, kau lagi ngapain?”
“Belajar!!” jawabku
“Hahaha…..kau belajar?” hujan itu menertawaiku
“Apakah begini caramu kalau sedang merasa kecewa sama seorang gadis? Jika saja semua laki-laki sama sepertimu, menghabiskan waktu dengan belajar saat dirinya kagol krono tresno, pasti banyak orang pinter.”
“Sialan!!!” umpatku sambil melemparkan sebuah pensil ke arah hujan.
“Sssttttt…….” Hujan itu mendesis seperti ingin memberitahukan sesuatu.
“Ada apa?”
“Ku lihat di depan sana ada seoarang gadis membawa payung.”
“Apa anehnya gadis membawa payung? Sekarang kan kawananmu sedang berpesta di bumi, wajarlah kalau dia membawa payung untuk menghindari rabaanmu.”
“Sepertinya aku tahu gadis itu.”
“Haha….sok kenal kamu.”
“Dia itu gadis yang beberapa hari lalu kau ke rumahnya, tapi tidak ketemu. Gadis yang membuatmu kagol.”
“Dini?”
“Yup!! Dan…..sepertinya dia menuju kemari.”
“Masa sih?”
Tanpa pikir panjang, segera ku rapikan kamarku. Ku tata buku-buku yang berserakan dan meninggalkannya sebuah di meja dengan posisi terbuka. Yah…membuat kesan orang yang rajin belajar. Ku balik poster seoarang artis perempuan dan menggantinya dengan gambar pesawat. Lampu yang semula terang benderang, ku redupkan dengan memutar panel dimmer, biar menimbulkan suasana romantis.
Ku lihat seorang gadis berjalan ke arah kamarku, aku masih saja duduk di depan meja sambil memegang buku membolak-balikannya tanpa harus membacanya.
“Assalamu’alaikum….” Suara merdu itu masuk menyusuri daun telinga dan melesat menggetarkan gendang telingaku, suaranya terdengar.
“Wa……wa’…wa’alaikum salaam..” jawabku agak tergagap sambil melongok keluar. “Ma…ma…masuk, Din.” Ajakku
Ku dengar di luar hujan semakin deras, dan tersenyum nyinyir padaku. Ku tutup pintu yang semula terbuka, biar hujan itu tak mengintip.
Dengan mengenakan kaos putih bergambar salah satu tokoh kartun, Mickey Mouse, Dini mengambil posisi duduk berhadapan denganku, aku hanya memperhatikannya. Rambutnya yang sebahu hitam legam tergerai seakan menjadi background wajahnya yang putih. Beberapa helai yang lain melintas di depan kening membelah alis yang hampir menyatu menambah manisnya paras.
“A…aku mau minta maaf.” Dini membuka pembicaraan.
“Aku mau minta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu.” Ulangnya dengan suara lirih.
“Kejadian yang mana ya?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.
Dini memegang bagian bawah dari kaosnya dan memutar-mutarkannya dengan jari, mengekspresikan rasa bersalah dengan mencari sesuatu untuk dipegang.
“Kejadian waktu kamu datang ke tempatku dan aku keluar nonton, padahal kita sudah janjian. Waktu itu tiba-tiba Roy datang dan maksa ngajak nonton, jadi ya…..”
“Nggak papa kok.” Kataku pura-pura tidak keberatan. “Aku yakin setiap orang pasti punya alasan akan sikapnya, dan aku harus menghargai alasan itu, meskipun belum tentu benar.”
Dini hanya tertunduk diam, tanganya masih memutar-mutar kaosnya dan rambutnya terurai ke depan hingga menutupi wajahnya. Hujan di luar pun bertambah semakin deras, terdengar dari suaranya yang nyaring menghantam atap. Aku masih memperhatikan Dini, lama tanpa sepatah kata pun keluar. Hanya pikiran kekaguman atas mahluk ciptaan Tuhan yang ada di depanku ini terbang mengangkasa.
Dini mengangkat wajahnya dan menatapku. Sorot matanya seakan memberi impuls-impuls listrik menembus mataku dan menusuk langsung ke jantung. Ada yang bergetar, rasa yang tak mampu ku lukiskan.
Mata kami masih saling menatap tanpa ada yang mau mengalah untuk menunduk. Perlahan Dini menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat denganku, aku pun merasa terdorong untuk melakukan hal yang sama. Hingga wajah kami hanya dipisahkan oleh udara-udara yang keluar dari nafas masing-masing. Dini menggigit bibir bawahnya dan matanya masih saja memandangku tajam. Aku menyibak rambutnya yang menutupi pipi dan mengaitkannya pelan di belakang telinga. Kulit putih itu terasa halus dengan urat kemerahan yang terlihat. Dini sedikit memejamkan mata, dan aku pun merasa perlu untuk segera…………………………..
Kurasakan sesuatu yang basah di bibirku. Tes…tes….tes……
“Hujaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaann!!!!! Mengapa kau bangunkan aku???”
“Maaf kawan, aku sebenarnya tak ingin membangunkanmu. Tapi apa daya atapmu ada yang bocor dan aku terseret oleh tuan gravitasi masuk ke dalam kamarmu dan mencium, eh mengenai bibirmu.”
“Ah, sompret!! Ternyata cuman mimpi……………”

<>Jogja, Desember 2004<>

>> kagol (bhs. Jawa, artinya: kecewa)

No comments:

Post a Comment