Tuesday, December 8, 2009

"Waktu..."


Seorang pemuda bernama Romi sedang melamun di dalam kamarnya sambil melihat langit malam yang penuh bintang. Dia membayangkan tentang seorang gadis yang bernama Lina, bagaimana perkenalan pertamanya dan betapa membekasnya paras Lina yang cantik. Seakan wajah Lina memenuhi langit diantara bintang-bintang pada malam itu.
(mulai adegan flash back ketika Romi pertama kali bertemu Lina)

Mereka berkenalan di bawah pohon randu di sebuah taman kota. Dengan basa-basi yang dibuat-buat akhirnya mereka berkenalan dan ngobrol kesana-kemari. Romi memandang wajah Lina dan tak mau melepaskan pandangannya, hingga suatu saat mata Lina tidak melihat ke arah Romi tapi melihat seseorang yang berada di bangku sebelahnya yang ada di belakang Romi. Romi heran melihat sikap Lina, dan menoleh ke belakang siapa gerangan yang diperhatikan oleh Lina. Seorang pria memakai jas dan celana panjang biru tua dipadu dengan kemeja biru muda dan berkacamata. Dengan buku, tepatnya sebuah komik di tangan dan sesekali sang pria tersenyum kecil seakan komik itu menceritakan sesuatu yang menggelikan. “Sialan! kau duduk bersamaku disini, tapi kau perhatikan orang lain,”umpat Romi dalam hati.
“Kau kenal orang itu?” Tanya Romi pada Lina.
“Ya, aku mengenalnya!” jawabnya yakin.
“O ya, siapa namanya? Kenal dimana? Berapa lama kenalnya? Sering main ke tempatmu?” pertanyaan Romi mengalir bertubi-tubi seperti berondongan brondong (pop corn).
“Aku kenal belum lama, baru beberapa saat tadi.”
“Baru tadi? Bukankah kau ada bersamaku beberapa menit lalu?”, kataku.
“Coba kau lihat lagi pria itu, apa kau tak mengenalnya?”
Romi melihat lagi sosok manusia itu, tak mengenalnya, tapi Romi merasakan sesuatu tapi tak tahu.
“Tidak!” jawabnya.
“Massa? Coba kau lihat lagi.”
“Nggak! nggak tahu ya nggak tahu!” kata Romi agak ketus.
“Itu kamu!! Dirimu!! Enam tahun dari sekarang. Kau punya pekerjaan yang mapan, sehingga penampilanmu pun semakin matang, tidak kumal dan suka menggombal seperti sekarang, kau pun menumbuhkan rambut di bawah hidung itu agar dikira dewasa, padahal juga belum begitu. Masih ada sifat kekanak-kanakan dalam dirimu. Itu terlihat dari masih sukanya kau membaca komik dan tersenyum sendiri seperti itu. Dan itulah mengapa kau berkacamata. Menghabiskan sepuluh komik setiap harinya dengan lima judul yang berbeda masih ditambah kegemaranmu main soliter di depan computer, belum lagi acara televis yang tak pernah terlewatkan khususnya acara dangdutan, telah cukup untuk membuatmu bermata ganda. Cuman matamu yang baru itu tidak ada keranjangnya, beda dengan mata yang asli yang penuh dengan keranjang.”
“Hah!!’ Romi seakan tak percaya. “Emangnya kamu peramal, klenik, cenayang, dukun. Kok bisa-bisanya mengatakan orang lain seperti aku.”
“Itu memang kamu. Orang lain bisa melihatnya, bisa berinteraksi dengannya. Tapi kamu tidak akan bisa. Yang jelas kamu tampak lebih menarik kalau seperti itu.” Katanya sambil tersenyum malu.
“Sialan! Pikir Romi. “lalu, apa maksudnya?”
“Maksudnya, aku akan menemuimu waktu kau sudah seperti itu!” kata Lina sambil ngeloyor pergi.
“Hah!! Terus kita?”
“Kita hanya sikap-sikap monyet, jadi apa yang kita lakukan hampir-hampir menyerupai monyet, suka bercanda dengan mimpi yang mengangkasa.”
“Dasar matre sialan. Iya kalo enam tahun lagi aku masih sendiri, kalo aku sudah berpoligami, apa kau akan menemuiku untuk menjadi selir yang ke sekian?” teriakku padanya.
Tapi sepertinya ia tidak mendengarkan, karena sosoknya sudah tak kelihatan. Romi masih saja terus mengumpat dengan kata-kata yang bervariasi. Hingga tiba-tiba banyak orang yang mengerumuni Romi, teman kost dan beberapa tetangga.
“Heh, ngapain kau teriak malam-malam begini? Ada yang merasukimu ya?” kata teman Romi.
Romi tersadar dan akhirnya keesokan harinya ia menemui Lina di alamat yang pernah diberikan Lina padanya. Tapi penghuni rumah bilang bahwa tidak ada yang bernama Lina. Romi semakin bingung, akhirnya pasrah setelah tidak menemukan keberadaan Lina, gadis yang pernah berkenalan dengannya.

(enam tahun kemudian)

Romi duduk di sebuah kursi taman kota dan membaca komik kesukaannya, Kungfu Komang. Ia melihat sekeliling taman, dilihatnya sepasang muda-mudi di depannya saling ngobrol. Tiba-tiba si cewek meninggalkan si cowok dan menghampiri Romi.
“Hai Romi!” sapa Lina.
“Hah!! Lina?”, kata Romi spontan seakan tak percaya.
[]

Fragmen Angsa

Sang angsa menyisir sekian rakit, berharap kan singgah.
Rakit penuh hias yang entah
Membuai dalam angan menunjuk diri
“Akulah yang kau tunggu!”

Hmm..sang angsa mengamat dengan sangat
Menanya pada hati,
Siapakah?
Atau sang lalu yang ku tunggu
Kan merajuk?
Sedang pagi segera berganti….

[Cileungsi, June 09, 2007]

Hujan dan Pedagang DVD

Sore hari langit masih terlihat cerah, semburat merah mulai terlihat menanda hari beranjak gelap. Pedagang DVD bajakan itu pun telah menata sedemikian berjajar barang dagangannya di depan emperan toko. Barat, Mandarin, Korea, kartun hingga lagu-lagu yang tak jarang melantun tersendat semua terpampang siap untuk dijajakan, lima ribu untuk VCD dan tujuh ribu rupiah untuk DVD. Satu dan beberapa orang telah berdiri melihat, memilih dan mencoba di layar tv yang tak lagi jernih. Pun beberapa manusia menjongkok untuk melihat deretan film yang tergantung di bagian bawah tersembunyi di balik film-film normal, sesekali pupil matanya melebar, sesekali berkerut di dahi, dan sesekali tersenyum samar saat telah didapatkan pilihan yang dicari, sebuah film dengan gambar perempuan-perempuan berbusana minim dan berpose aduhai terkumpul dalam satu disc banyak cerita. Sampai-sampai rela berimpit dalam jongok dalam ruang yang sempit demi untuk mendapatkan film “bohay” yang terbaik.
Jauh diatas kerumunan itu awan mulai berkumpul, berdiskusi untuk mengadakan sidak ke bumi. Semakin banyak, kelam dan berangin. Dan serentak menjatuhkan dirinya tanpa peringatan dalam suara yang berentetan. Sang pedagang DVD bajakan dan kerumunannya seketika kaget, bingung dan bubar. Orang-orang melarikan diri dari basah dan sang pedagang sibuk menyelamatkan barang modalnya dalam kardus, sedang hujan tak berencana mereda. Semakin menggenang dan menenggelamkan setiap mata kaki yang lewat.
Sang pedagang hanya duduk termenung di teras toko memeluk kardus yang berisi film barat, mandarin, korea dan beberapa tontonan “bohay” serta lagu-lagu yang tak jarang melantun tersendat, gajinya hari ini terpotong hujan. Tempatnya mengais rejeki yang beratapkan awan membuat pendapatannya ditentukan langit. Jika cerah, ia akan meraup rupiah sampai toko-toko disekitarnya tutup, jika hujan menyapa bahkan sebelum sang pedagang sempat menata dagangannya maka tak serupiahpun didapat. Dan di musim perayaan hujan kali ini, sang pedagang lebih sering berdiam diri di rumah kontrakannya yang berarti tanpa penghasilan, dan para penggemar film termasuk film “bohay” musti menahan diri sampai hujan kembali reda dari hari.
[Desember 07, 2009]

Thursday, December 3, 2009

HUJAN AIR

“Kesempatan telah dilalui....pun saat hujan kembali mereda, dan dunia nampak lebih cerah dari biasanya...”

Berhelai rambut yang tertiup menggores pipi putih, mata oriental memandang kejauhan berharap sesuatu kan datang. Udara semakin berisik saat awan gelap mulai mengayom, dingin menjadi hal yang lebih dulu ada mendekap bahu yang terbuka sebelah. Bibir tipis mulai tergigit mengerling mata ke segala arah, tersentak suara petir yang membahana.....yang dinanti belum juga tiba.
Kegelisahan merayap ke sekujur tubuh, dan kerutan halus mulai nampak di kening.....”cupp!” setetes hujan menciumnya diikuti rentetan berikutnya, semakin beringas oleh gairah yang lama terendap. Sang mata oriental tersenyum....memejamkan mata, menengadahkan kedua tangan dan wajah dan berputar riang diiringi tawa-tawa kecil.
“Ah, kenapa kau lama sekali?” tanyanya tanpa meninggalkan lesung pipit yang tersungging.
“Maafkan aku...” Jawabnya
“Kau pikir aku senang ditemani awan yang selalu muram dan petir yang tak pernah bersuara pelan? Aku telah menantimu berminggu-minggu sampai entah kapan terakhir kali kita bicara.”
“Maaf,...”
“Ah, lupakan maafmu....Apa ceritamu hari ini?”
“Tak ada cerita.”
“Kau masih saja malu bicara, padahal kita sudah puluhan tahun kenal.”
“Kau masih kecil waktu itu...”
“Dan sekarang.....???” tanya sang mata oriental yang tak lagi berputar-putar.
“Hmm....”
“Eh, kau terasa lebih hangat hari ini. Ada yang berbeda?”
“Tidak, masih seperti biasanya. Air bersih, air setengah bersih, air setengah kotor dan air kotor semua bercampur di diriku. Aku tak bisa memilihnya, tak seperti kamu yang diberi kesempatan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk.”
“Tapi, kau tak pernah memberikan sisi burukmu pada alam ini, kecuali dampak dari kelebihan berat badanmu yang bisa menyebabkan banjir. Kau tak pernah menumpahkan dirimu dalam bentuk comberan, hampir semua manusia bisa menerimamu, termasuk diriku.”
“Ah,....”
“Kau juga selalu lurus, tak pernah berbelak-belok dalam bersikap seperti kebanyakan manusia, yang ada hanya kadang kau condong kesana atau kesini, tapi arahmu selalu lurus.”
“Hmm..kau masih kecil waktu itu...”
“Lalu..?”
“Lalu...aku musti mengakhiri obrolan kita kalau kau tak kenakan payungmu.”
“Kau ingin aku menghindarimu?”
“Aku ingin agar aku tak terlalu dalam menyentuhmu. Lihat... tak ada rongga diantara kulit dan bajumu, sekarang telah menyatu olehku. Air yang terserap oleh kain yang kau kenakan telah menampakkan keindahanmu, keindahan yang sebagian besar orang berani membayar berapapun.”
“Kau tidak...?”
“Tak ada lagi yang bisa ku tawarkan, karena aku adalah penyusun sebagian besar dirimu...”
[Dec 02, 2009]