Tuesday, April 21, 2009

Ilusi

Ada yang bilang, "Enak jadi pejabat!"
Punya banyak uang dan kekuasaan.
Ada yang ngomong, "Susah jadi orang miskin!"
Kerja sampai kering dan terkencing-kencing hanya untuk nasi sepiring.
Tapi ada yang nyeletuk, "Enak jadi tokoh dongeng!"
Mau korupsi, kejahatan terkoleksi dan masuk pengadilan negeri, tetap tak terbukti.
Sebab, itu hanya fantasi yang tidak benar-benar terjadi. Maka teruslah mendongeng, sehingga kehancuran negeri ini hanya ilusi belaka yang memang mengada-ada.

Suatu pagi di Poso


Suara-suara air masih saja menderu mengisi senyapnya hutan lepas malam, kabut menyerbu menutupi pepohonan bagai asap yang sebentar mampir. Perlahan hilang saat sinar mentari menginterupsi. Dinginpun masih membekas di kulit, terlebih dua gayung air melumuri tubuh atas nama mandi, jauh dari komprehensif.
Jalanan sepi itu mulai nampak seorang per orang melewati jalan menuju tugasnya masing-masing. Berbaju oranye, helm putih dan sepatu boots dengan sebatang rokok di tangan berulang setiap hari yang berganti. Wajah-wajah kusam itu masih saja tekun maraup rupiah di tengah proyek di entah berantah. Tak peduli tengah rimba, tak jadi soal tengah samudera, mereka kan berbondong dengan riang.
Meski berlipat guratan di dahi menanda ada yang mengusik hati. Anak isteri yang tak nampak oleh mata, bilangan usia yang semakin menanjak bertanya akan sampai kapan ini dilalui?
Hmmm....tak bisakah aku tenang bersama-sama keluargaku tanpa kekurangan rupiah?
Menjadi orang pertama yang dilihat isteri ketika bangun di pagi hari
Menjadi teman yang selalu ada disetiap rengekan anak
Menjadi pendengar dari setiap kesah
Hmmm...
Kenyataannya, aku masih disini
Di tengah hutan yang sendiri
(faruq)

Proses

mau?
Tidak!
Mau ya?
Tidak mau!!
Masa nggak mau??
Enggaakk!!!
Alaaah mau mau???
Tidak mau, titik!!!
Sekaliii saja, mau ya??
Aaah, berisik!!
Iya deh, mau!!

Jepara (koe)

Jeparaku beda dengan kotamu
Sebab, kotamu tak melahirkanku!

kosong

kosong kadang indah
namun selalu ku tak mampu menuliskan kekosongan
tanpa membuatnya tergores tinta
ah, aku memang masih bodoh!

uh....

Sebuah rangsangan menyentuh ujung
Bergerak pelan menyusur tubuh
Tiupan angin membentuk irama
Air mata menetes dalam hangat...panas...
Menyatu bersama-sama korbankan diri
Demi satu fungsi
Hingga akhirnya lemas...meleleh...mencair...
Untuk kemudian mengeras lagi
(balada seorang lilin)

Bismillah

Kesuksesan itu menjadi satu keinginan yang menggebu di setiap saat. Mendesak menjadi kebutuhan yang harus diselesaikan karena waktu tak akan berhenti untuk menunggu kita mempersiapkan apa yang menjadi kebutuhan untuk meraih kesuksesan. Artinya waktu itu berjalan seiring dengan cita-cita, usaha sampai nanti apakah kesuksesan itu yang kita raih atau sebaliknya. Kita dituntut untuk bisa berangan menetukan tujuan, belajar apa yang diperlukan untuk meraihnya, dan mewujudkannya, dalam satu waktu yang berjalan lurus (kalau benar waktu itu lurus).
Berhenti kita pada satu proses? Waktu tak mau tahu, ia akan terus berjalan meninggalkan kita yang terseok, tertatih, menjerit dan akhirnya meledaklah otak kita menjadi serpihan-serpihan kecil tak bermakna. Aku ingin berteriaaaaakkkkkk!!!!!!
Waktuuuuuuuuuuuuuuuu, berhenti!!!! Apa kau diciptakan Tuhan tanpa perasaan??? Apa kau hanya mampu berjalan tanpa peduli dengan siapa yang kau lintasi? Berapa juta orang yang kau seret dari masanya? Melemahkan otaknya, mengaburkan penglihatanya, dan melipat keras kulitnya? Tahukah kau???
Aku hanya ingin kau mengiringiku sepelan diriku mampu memahami arti kehidupan, ilmu dan dirimu. Aku menjadi frustasi hilang kendali karena kau melesat terlalu cepat. Padahal aku harus sampai di sana sama sepertimu. Atau….inikah diriku yang disebut manusia? Lemah, terbatas dengan otak yang tidak semakin cerdas jika melihatmu? Berapa belas tahun waktu yang ku habiskan hanya untuk memahami bahwa aku harus punya tujuan? Berapa ribu jam, ratusan buku, dan ulangan suara-suara dari dalam kelas ilmu pengetahuan, hanya untuk mengerti perihal benda jatuh, gerak parabola, konversi energi dan entah apa lagi yang akan ditulis oleh manusia? Tapi begitu aku mulai sedikit mengerti, kau sudah meninggalkanku dalam pergantian abad.
Aku hanya ingin merebahkan tubuhku sejenak, memejamkan mataku, dan membelai pikiranku dalam kesejukan. Air yang menetes dari ujung-ujung daun mengalir melalui urat-urat syarafku menarik kotoran-kotoran yang sudah lama mengendap, membersihkannya dan membuangnya keluar. Hingga saat ku buka mataku, ku lihat mentari yang menari dengan rintik hujan menggoreskan pelangi memberi warna dalam hidup (ku). Setelah itu, kakiku akan melangkah seringan angin mengantarkan dedaunan pada tujuan. Saat demikian, aku tak peduli lagi dengan waktu yang entah telah sampai pada belahan bumi mana. Sebab, telah ku temukan jalanku, ku lihat pintu citaku, ku buka dan akhirnya ku rasakan kesuksesanku bersama ridha Illahi. “Iyyaka na’budu, Wa iyyaka nasta’iin…………” Ya Allah, ampunilah dosaku.

Bintang

Ada kesenangan saat mencari sebuah bintang dan memberikannya padamu. Bintang kertas, bintang plastic, bintang kayu ataupun bintang laut. Semua atribut yang berbentuk bintang akan ku carikan dan ku berikan untukmu, karena kau menyukainya. Kau sangat menggemarinya hingga jemarimu pun begitu terampil memainkan selembar kertas menjadi sebuah bintang.

Memang bintang itu indah, saat ku lihat sekumpulan bintang laut yang sudah kering berserakan tampak manis diantara pasir putih pantai. Sisinya yang lima menjulur bagai jari-jari mungil menggenggam apapun yang ada di bawahnya. Ku pandang, ku pegang dan ku masukkan ke kantongku untuk ku berikan padamu.

Aku begitu khawatir saat membawa bintang itu. Aku takut akan patah salah satu sisinya dan kelihatan tidak indah lagi. Setiap beberapa langkah ku lihat kantongku yang berisi bintangmu dengan tanganku secara halus memegangnya perlahan. Menjaganya agar tidak bergoyang jatuh dan akhirnya remuk. Tidak, bintang ini tidak boleh rusak. Bintang ini harus sampai ke tanganmu utuh, seutuh cita-citaku padamu.

Ku berlari dengan bintang yang tersimpan di kantong baju. Orang selalu memperhatikanku yang nampak tergesa, tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin memberikan bintang ini padamu, itu saja!.

Monday, April 20, 2009

Karang dan Ombak

Aku melihat ombak bergemuruh di laut, bergulung-gulung menerjang batu karang di pantai kenangan. Sekali, dua kali dan seterusnya hingga karang-karang itu tak kuat lagi menahan hantaman ombak yang kian ganas. Karang yang semula kokoh menjulang tinggi bak benteng pertahanan sebuah kastil, perlahan-lahan retak, berongga, dan akhirnya runtuh oleh air yang berujud ombak.
Karang dan ombak, laksana dua sahabat yang saling hidup berdampingan di lingkungan yang disebut pantai. Namun mengapa satu menyakiti yang lain? Ombak menerjang tak henti-hentinya pada karang. Seakan-akan karang mempunyai dosa masa lampau dan ombak menghajar karang memendam dendam kesumat. Atau mungkin di kehidupan yang lalu, karang dan ombak adalah sepasang kekasih. Keduanya hidup berdua menyulam benang-benang kasih menjadi kain kebahagiaan menyelimuti hari. Hingga akhirnya salah satu menghianati yang lain dan itu menumbuhkan kebencian yang mendalam sampai sekarang?
Ah, tak tahulah! Yang jelas aku bukan sang karang itu. Yang mudah rapuh diterjang ombak, yang mudah putus asa karena sikap ombak yang kadang datang pun tak jarang menjauh. Aku adalah……angin! Ya, akulah sang angin. Yang mendorong dan mengantarkan ombak menyusuri lautan dan akhirnya menyentuh pasir pantai dan tentu saja, menyapa sang karang. Aku adalah angin yang padaku burung-burung melambai-lambaikan sayapnya, berteriak merdu mengangkasa. Akulah angin yang selalu mengantarkan pesan-pesan alam. Meski kadang ku tak mampu menyampaikan pesan hati seseorang pada kekasihnya. Perasaan cinta seseorang itu terlalu berat untuk ku dekap dengan kedua tanganku, lebih berat dari besi bersayap dengan baling-baling di kedua sisinya.

Sunday, April 19, 2009

Lima


Kita hanya berjalan menurut apa yang telah ditentukan, meskipun tetap tidak tahu ke arah mana yang seharusnya dan sebaiknya melangkah. Tapi Ia telah menunjukkan tanda-tanda itu dan kita mencernanya dalam keseringan salah karena nafsu bersemayam tenang di diri kita, dan dengan cara itulah kita hidup.
Hidup adalah taqwa, hidup adalah menjalankan apa yang tidak semuanya kita suka dan menjauhi apa yang sebagian besar kita ingini.

Dua kalimat identitas terpatri di dalam hati sebagai wujud maknawi guna melanjutkan langkah dalam waktu lima yang tak jarang terabai.
Pun penahanan diri hanya berlangsung dalam satu dari dua belas yang dijalani. Kekeliruan dan ketidakbeneran menjadi sistem beraneka rupa dan melesat bak kuadrat kecepatan cahaya menyeret norma-norma, memberai dahsyat dalam bentuk energi. Ya,energi ketidakbetulan. Terkultuskan menjadi madzhab ke seratus sekian dalam jamaah edaniyah.
Gelimangan dua setengah persen koin tertahan di tangan menampar wajah-wajah fakir membusuk dalam kemelaratan di kaki-kaki kemegahan.

Pun penguasa alam tetap menjatuhkan mata airnya, terserap butiran-butiran dan terangkat oleh tunas-tunas kehidupan, termakan dan mengendap dalam darah mengalir melalui siklus menyampaikan pesan ke-mahluk-an pada pusat tata diri. Tersadar, tertunduk segaris lutut dan bersimpuh di rumah-Nya bersama orang-orang bumi dalam ihram sebagai bukan siapa-siapa selain milik-Nya.

Penarik Rakit


Penarik rakit memegang kayuh di tepi danau
Manatap Sang angsa yang asyik bermain dengan kawanannya
Sementara daun-daun masih berbisik melantunkan pagi

Sang angsa melirik penarik rakit sambil lalu
Senang beriang entah apa
Sedang rakit masih berlumur embun
Tertambat di sebuah pohon

Apa kabar pagi ini?
Siapa tahu yang dinanti
Manguap seiring naiknya mentari
Penarik rakit duduk termangu sayup
Melihat sang angsa di malam yang terjaga

Penarik rakit tak kuasa menahan tidur
Letih...lelah...
Menyerahkan pada alam
Untuk apa rencana-Nya

Sedang rakit masih tertambat.

<>China, Februari 14, 2007<>
08.20.am

Ctaaarrrr..!!!


Langit yang terang benderang dengan kawanan awan yang berarak bagai domba itu berangsur bergeser, berputar menjadi keabu-abuan, menumpuk menjadi hitam. Udara panas menyengat berubah menjadi angin berhembus menerpa wajah-wajah kusam beriaskan asap cerobong knalpot.

Mendung telah menutupi bumi bagai malam yang belum waktunya. Angin semakin semilir bertiup kencang. Debu, plastik, daun-daun kering beterbangan pasrah kemanapun angin membawa, tak kuasa melawan maupun bertahan. Orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah, kost atau dimanapun asal tidak diluar.
Suara-suara gemuruh mulai berdatangan bagai genderang dari sekelompok pemain drum band. Mengalun mengiringi lagu alam yang ingin menumpahkan seluruh air matanya ke bumi.

Ctarrrrr!!suara petir menyambar, menggoreskan seraut bentuk akar serabut di langit, putih bagai pecut yang diayunkan oleh seorang ksatria penunggang kuda. Disusul penunggang kuda yang lain yang sama-sama mengayunkan cemetinya, berulang dan semakin banyak ksatria yang berdatangan. Suara-suara itu menyambar-nyambar dengan semakin lebatnya air yang membasahi tanah.
<>Jogja, Februari 12, 05<>

Sang Angsa



Embun-embun tertahan di permukaan daun
perlahan menguap seiring bangunnya mentari
berganti hangat dalam keceriaan pagi
sang angsa perlahan menceburkan diri ke danau
menyapa panarik rakit
"apa kabar hari ini?" sapanya
"kabarku hari ini agak berbeda dengan kemarin hari." jawab panarik rakit
"apa yang berbeda wahai perakit?"
"karena hari ini aku lebih merasakanmu, dan akan selalu bertambah setiap harinya."
"mengapa kau selalu merayuku?"
"jika itu bukan kesalahan, maka aku akan terus melakukannya."
"lalu bagaimana dengan aku?
"kau boleh mendengarkanku."
penarik rakit terus mengayuh....melintasi riak-riak kecil danau
menghirup aroma pohon pinus yang menjulang berjajar mengelilingi danau
"mengapa kau begitu yakin?" tanya sang angsa lagi
"aku hanya percaya dengan apa yang kuinginkan."
"bagaimana jika sebaliknya?"
"keinginan itu ada karena saat ini belum ada, dan apa salahnya kita kembali pada kebelumadaan itu."
"sia-sia?"
"tidak, karena aku masih bisa punya ingin."
"kau mencintaiku?"
"menurut pesan hatiku seperti itu."
"sangkar emas telah menantiku."
"ku tawarkan rakitku yang reot ini untuk menggantinya."
"lebih baik?"
"aku berharap nyaman."
"ke-belum-pastian."
"apa yang pasti selain ketidakpastian itu sendiri."
"kau hanya pandai berbicara!"
"itu menyampaikan pesan hatiku, tapi aku akan diam jika ku menginginkannya.
aku tak akan bersuara jika kau mampu mendengarnya"
"aku tidak mampu."
"maka ijinkan aku bicara."
"aku takut, kalo semakin lama kau bicara, aku semakin sulit berpaling dari....mu"
"maka, kita mulai saja ceritanya!"jawab penarik rakit menjauh dari sang angsa.

Pembuat Teh

Pembuat teh itu memungut tumpukan daun2 teh yang telah dirajang
dan menjemurnya di bawah terik mentari
seekor lebah datang menghampiri pembuat teh
"alangkah harumnya aroma daun-daun ini wahai pembuat teh!"
"daun-daun ini memang diciptakan demikian. agar aromanya mampu membelai
syaraf-syaraf menjadi nyaman."
"bukankah keterampilan tanganmu juga berperan dalam menciptakan kenikmatan itu?"
"tanganku hanya mengikuti apa yang sudah lama diajarkan padaku. membuat takaran
yang sudah ditentukan alam.meski kadang alam tidak selamanya menyediakan takaran itu."
"tapi bukannya sedikit kesalahan saja dalam meramu dapat menyebabkan
hilangnya kenikmatan itu?"
"yaaah.....itulah mengapa aku disebut si pembuat teh.meski tak semua orang mau
merasakan teh buatanku."
"mengapa?"
"ada beberapa alasan untuk itu!"
"dan aku disini untuk mendengar alasan itu"
"mmm......aku tidak tahu apakah alasan-alasan itu begitu penting.
setiap orang tidak selalu punya pandangan yang sama terhadap seseorang yang lain,
pun seseorang tidak selalu sama dalam menilaiku sebagai pembuat teh.aku hanya
pembuat teh, begitu pula mereka pembuat teh yang lain. mereka membuat teh sesuai
dengan takarannya,tergantung lidah orang mana yang paling sesuai.
aku pun demikian, tidak semua lidah mampu ku singgahi dengan tehku.
namun yang pasti, kadang aku membuat teh hanya untuk seseorang tertentu.
orang yang memang aku ingin membuatkan teh untuknya."
"maukah kau membuatkan segelas teh untukku, wahai pembuat teh?"
"berapa takaran untukmu, wahai lebah kecil?"
"takaranku adalah takaran alam yang disampaikan padamu."
"hmm....semoga aku tidak salah dalam memahami pertanda alam."
"dan...semoga aku mampu untuk mencerna teh buatanmu."kata sang lebah.

(cileungsi, june 12 2006)

Janji Hujan 03 - Sepotong Bibir Dalam Spion

“E….e….anu…., jangan kau tanya bagaimana perasaanku.”
“Sebab, e…. e…., aku…., aku….”
*****
Aku masih mengamati rintik hujan yang turun di bawah lampu kota. Butiran-butiran kecilnya jatuh lebih pelan dari kelihatananya, semakin lama ku perhatikan seperti jatuhan meteor yang menghujami bumi dalam serpihan-serpihan kecil, mengenai wajahku dan menguap.
Puisi-puisi itu pun masih diteriakkan dari mulut-mulut anak negeri yang peduli dengan saudaranya, pergantian tahun tanpa terompet dan kembang api, demikian mereka menyebut aktivitasnya, dan rupiah pun terkumpul untuk Aceh.
Mataku sudah mulai merah melihat lalu lalang kendaraan bermotor yang mengeluarkan emisi gas buang berlebih, saat ku lihat sepotong bibir seorang gadis di kaca spion motorku. Dari dagu sampai bibir, sedangkan hidung ke atas tidak terlihat terpotong kaca spion. Bibir yang tipis manis, simetris, agak merah dengan dagu yang terbelah, singgah pada sesosok tubuh yang sendiri.
Ku hampiri gadis berjilbab pemilik sepotong bibir manis yang ada dalam spionku itu.
“Sendirian?” sapaku basa basi
“Iya!” jawabnya singkat
“Mm..mm…boleh kenalan?”
Gadis itu menatapku, lalu mamalingkan wajahnya dan diam.
“Ok, nggak papa kalau nggak mau kenalan, setidaknya aku sudah berusaha menyapa dengan itikad baik.” Kataku menanggapi sikapnya yang dingin.
Gadis pemilik sepotong bibir dalam spion itu masih saja membisu diantara suara-suara terompet yang sesekali dibunyikan dari pengendara sepeda motor.
“Eh, ada apa dengan matamu?” tanyaku tiba-tiba pada gadis di sampingku itu.
Dia agak kaget dan mengusap-usap matanya, mencari-cari kalau ada yang salah. Dia memandangku seakan menanyakan apa yang salah dengan matanya.
“Kenapa di matamu ada cahayanya, biar ku lihat sebentar.” Kataku. “Oo…ternyata bintang. Bintang-bintang di angkasa itu memantulkan cahayanya di matamu, makanya matamu seperti bersinar.”
Gadis pemilik sepotong bibir dalam spion itu tersenyum, menahannya dalam lesung pipit.
“Lailla!!” ucapnya tiba-tiba dengan mengangkat tangannya.
Ku lihat jari-jari yang lentik, putih bersih menjulur ke arahku. Tanpa banyak waktu, ku sambut tangan itu.
“Ipung!!” Balasku menyebut nama.
Kata Einstein, besarnya cinta yang dihasilkan sama dengan jumlah rayuan dikalikan jumlah kuadrat waktu bertemu, dan aku sedang membuktikan postulat ini.1) Percakapan kami mulai berkembang tanpa hambatan, lama, hingga akhirnya ku tawarkan untuk mengantarnya pulang. Sejenak ia merasa ragu, namun akhirnya ragu itu menguap dengan semakin hangatnya rayuan..
Ku lewati jalanan itu dengan hati riang dan rintik hujan juga masih menyelubungi bumi atas nama gerimis yang mengiringi. Ku tengok kaca spion, sepotong bibir itu masih ada. Bedanya, sepotong bibir itu bersamaku sekarang. Motorku melaju menyusuri jalanan yang seakan sudah ku kenal dan berhenti di sebuah rumah yang aku tidak asing lagi.
“Kamu kost disini?”
“Iya! Kenapa?”
“ Kau kenal Dini?”
“Mbak Dini? dia adalah kakakku!”
*****
“Oaaaaahh!”
Pagi yang indah, meski agak sedikit menjengkelkan. Bangunku bukan karena keinginan, tapi terpekakkan oleh teriakan motor teman kost yang mem-bleyer seenaknya, ditambah asap knalpot dua tak-nya menjejal masuk kamar bagai embun-embun polusi yang menyesakkan dada. Tapi aku tetap bersyukur, karena masih bisa bangun dari tidur, terus mandi, dan tidak lupa menggosok gigi, seperti lagu yang sering didendangkan anak-anak.
Suara HP memantul nyaring ditembok kamar, bergetar, muncul sebuah nama berkedip-kedip diantara nyala lampunya.
“Hallo……..?”
“Bisa!! Aku akan kesana sekarang”
*****
Aku sudah sampai di depan rumah yang yang tadi malam baru saja ku singgahi. Dini sudah duduk di sebuah kursi bambu depan rumah. Dengan agak ragu ku hampiri Dini dan duduk disebelahnya. Aku masih ingat betul bagaimana kejadian beberapa minggu lalu.
“Mau minum apa Pung?” katanya menawari sesuatu
“Apa aja deh.”
Dini segera masuk ke dalam dan beberapa saat kemudian telah membawa segelas sirup nutrisari dalam sebuah mug berhiaskan gambar Mickey Mouse.
Hari itu cerah, tidak seperti biasanya, dimana hujan selalu hadir di setiap waktu. Pun saat Dini mulai membuka pembicaraan.
“Aku minta maaf, Pung. Waktu itu………”
Ku abaikan omongan Dini, karena kalimat berikutnya sama seperti dalam mimpiku yang lalu. Aku pun menepuk-nepuk pipiku berulang kali, siapa tahu aku mimpi lagi, dan ternyata pipiku memerah karena tamparanku.
“Roy memang brengs….”
“Sudahlah!” ku potong kata-kata Dini.
“Kau memaafkanku? Makasih ya Pung.” Kata Dini setelah melihat anggukan kepalaku.
“Pung…….., sebenarnya kamu gimana sih? E…e…sebenarnya bagaimana perasaanmu padaku, Pung?”
Aku agak kaget, sedikit tersenyum dan lumayan bingung. Aku tahu arah pembicaraan Dini dan ini sebanarnya yang dulu ku nantikan.
“Pung!!!” suara Dini menyentakkanku dari lamunan. Aku agak bingung bagaimana harus menjawabnya.

“E….e….anu…., jangan kau tanya bagaimana perasaanku.”
“Sebab, e…. e…., aku…., aku…..aku cinta adikmu!!!!!”
“Hah!!!!” Dini kaget mendengar kata yang baru saja ku ucapkan. “Kamu cinta Lailla??? Bagaimana bisa?”
“Bisa saja, sebab getaran harmonis jiwaku berfrekuensi sama dengan getaran harmonis jiwa adikmu, sehingga apabila kami mengaturnya, bukankah akan terdengar nada yang indah?” 1)
Seketika tiba-tiba terdengar suara geledek merayap di udara mendekati pendengaran kami yang diam sehingga frekuensi yang didengar menjadi lebih tinggi.1) Seperti film-film Indonesia tempo dulu, setelah geledek lalu turunlah hujan deras, mengiringi Dini yang langsung lari ke dalam sambil sesenggukan mengeluarkan air mata kecewa.
Aku hanya bisa meihat kejadian itu dengan iba. Apakah aku salah? Apakah aku harus membohongi perasaanku? Yaaah….akhirnya ku starter motorku untuk pulang, meski hujan sedang ramai-ramainya berpesta.
“Bagaimana sikapku, hujan?” tanyaku pada air itu.
“Siiip!!! Cukup ilmiah penjelasanmu.” Katanya tanpa diikuti oleh acungan jempol, sebab mereka tak memilikinya.
Sebelum keluar dari pintu gerbang, ku lihat sepotong bibir dalam spion. Bibir yang sama dengan kemarin malam, berada di balik kaca jendela, dan tersenyum.

Jogja, February 10, 2005

1) John

Janji Hujan 02

“Tik…tik…tik…bunyi anu di atas anu, anunya Anung tidak terkira. Cobalah tengok anunya Anung, anunya Anung basah semua…”
Hujan itu bernyanyi di luar kamarku dengan suaranya yang tidak merdu, mengalun seperti rentetan peluru. Aku ingin tertawa mendengar lirik yang diplesetkan oleh kawanan air jatuh itu.
“Kau tak usah menghiburku, kekecewaanku tak seperti yang kau pikirkan!” kataku pada hujan di pagi yang dingin.
“Lagi pula kejadian itu juga sudah beberapa hari yang lalu, sehingga aku sudah melupakannya.”
“Ya….siapa tau kau perlu hiburan.” Katanya. “Hei, kau lagi ngapain?”
“Belajar!!” jawabku
“Hahaha…..kau belajar?” hujan itu menertawaiku
“Apakah begini caramu kalau sedang merasa kecewa sama seorang gadis? Jika saja semua laki-laki sama sepertimu, menghabiskan waktu dengan belajar saat dirinya kagol krono tresno, pasti banyak orang pinter.”
“Sialan!!!” umpatku sambil melemparkan sebuah pensil ke arah hujan.
“Sssttttt…….” Hujan itu mendesis seperti ingin memberitahukan sesuatu.
“Ada apa?”
“Ku lihat di depan sana ada seoarang gadis membawa payung.”
“Apa anehnya gadis membawa payung? Sekarang kan kawananmu sedang berpesta di bumi, wajarlah kalau dia membawa payung untuk menghindari rabaanmu.”
“Sepertinya aku tahu gadis itu.”
“Haha….sok kenal kamu.”
“Dia itu gadis yang beberapa hari lalu kau ke rumahnya, tapi tidak ketemu. Gadis yang membuatmu kagol.”
“Dini?”
“Yup!! Dan…..sepertinya dia menuju kemari.”
“Masa sih?”
Tanpa pikir panjang, segera ku rapikan kamarku. Ku tata buku-buku yang berserakan dan meninggalkannya sebuah di meja dengan posisi terbuka. Yah…membuat kesan orang yang rajin belajar. Ku balik poster seoarang artis perempuan dan menggantinya dengan gambar pesawat. Lampu yang semula terang benderang, ku redupkan dengan memutar panel dimmer, biar menimbulkan suasana romantis.
Ku lihat seorang gadis berjalan ke arah kamarku, aku masih saja duduk di depan meja sambil memegang buku membolak-balikannya tanpa harus membacanya.
“Assalamu’alaikum….” Suara merdu itu masuk menyusuri daun telinga dan melesat menggetarkan gendang telingaku, suaranya terdengar.
“Wa……wa’…wa’alaikum salaam..” jawabku agak tergagap sambil melongok keluar. “Ma…ma…masuk, Din.” Ajakku
Ku dengar di luar hujan semakin deras, dan tersenyum nyinyir padaku. Ku tutup pintu yang semula terbuka, biar hujan itu tak mengintip.
Dengan mengenakan kaos putih bergambar salah satu tokoh kartun, Mickey Mouse, Dini mengambil posisi duduk berhadapan denganku, aku hanya memperhatikannya. Rambutnya yang sebahu hitam legam tergerai seakan menjadi background wajahnya yang putih. Beberapa helai yang lain melintas di depan kening membelah alis yang hampir menyatu menambah manisnya paras.
“A…aku mau minta maaf.” Dini membuka pembicaraan.
“Aku mau minta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu.” Ulangnya dengan suara lirih.
“Kejadian yang mana ya?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.
Dini memegang bagian bawah dari kaosnya dan memutar-mutarkannya dengan jari, mengekspresikan rasa bersalah dengan mencari sesuatu untuk dipegang.
“Kejadian waktu kamu datang ke tempatku dan aku keluar nonton, padahal kita sudah janjian. Waktu itu tiba-tiba Roy datang dan maksa ngajak nonton, jadi ya…..”
“Nggak papa kok.” Kataku pura-pura tidak keberatan. “Aku yakin setiap orang pasti punya alasan akan sikapnya, dan aku harus menghargai alasan itu, meskipun belum tentu benar.”
Dini hanya tertunduk diam, tanganya masih memutar-mutar kaosnya dan rambutnya terurai ke depan hingga menutupi wajahnya. Hujan di luar pun bertambah semakin deras, terdengar dari suaranya yang nyaring menghantam atap. Aku masih memperhatikan Dini, lama tanpa sepatah kata pun keluar. Hanya pikiran kekaguman atas mahluk ciptaan Tuhan yang ada di depanku ini terbang mengangkasa.
Dini mengangkat wajahnya dan menatapku. Sorot matanya seakan memberi impuls-impuls listrik menembus mataku dan menusuk langsung ke jantung. Ada yang bergetar, rasa yang tak mampu ku lukiskan.
Mata kami masih saling menatap tanpa ada yang mau mengalah untuk menunduk. Perlahan Dini menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat denganku, aku pun merasa terdorong untuk melakukan hal yang sama. Hingga wajah kami hanya dipisahkan oleh udara-udara yang keluar dari nafas masing-masing. Dini menggigit bibir bawahnya dan matanya masih saja memandangku tajam. Aku menyibak rambutnya yang menutupi pipi dan mengaitkannya pelan di belakang telinga. Kulit putih itu terasa halus dengan urat kemerahan yang terlihat. Dini sedikit memejamkan mata, dan aku pun merasa perlu untuk segera…………………………..
Kurasakan sesuatu yang basah di bibirku. Tes…tes….tes……
“Hujaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaann!!!!! Mengapa kau bangunkan aku???”
“Maaf kawan, aku sebenarnya tak ingin membangunkanmu. Tapi apa daya atapmu ada yang bocor dan aku terseret oleh tuan gravitasi masuk ke dalam kamarmu dan mencium, eh mengenai bibirmu.”
“Ah, sompret!! Ternyata cuman mimpi……………”

<>Jogja, Desember 2004<>

>> kagol (bhs. Jawa, artinya: kecewa)

Janji Hujan

Aku hanya mendengarkan alunan musik yang keluar dari salah satu stasiun radio sore itu. Tak ada aktivitas lain, sebab hujan telah lama menemani sejak siang tadi. Daun-daun lebih berwarna dan tanah menjadi lembek dengan rintik hujan masih saja turun teramati dari balik jendela kamar.
“Hei...kau telah ditunggu.” Ada suara yang membisik masuk ke dalam kamar.
“Kau telah ditunggu seseorang, bukankah kau telah janji padanya untuk datang?” Lanjutnya lagi.
Kulihat sekeliling tak ada orang, bahkan seekor burung pun yang biasanya berseliweran di depan pintu kamar tak menampakkan diri. Masa hujan itu yang bicara padaku, pikirku. Suara itu berulang, “Kau telah ditunggu...”
Ku amati, ku dengarkan dengan seksama, dan benar, hujan itulah yang berbicara padaku.
“Kau yang menyampaikan pesan itu?” Tanyaku pada hujan.
“Ya...” jawabnya.
“Mengapa kau mengatakannya?”
“Karena kau telah membuat janji.”
“Bukankah kau sadar, kau dan kawananmu turun ke bumi tak henti-hentinya, sehingga aku enggan melangkahkan kaki keluar.”
“Maaf teman, aku memang datang lebih sering akhir-akhir ini. Tapi ketahuilah, ini adalah tugas dari Tuhanku untuk membasahi bumi. Yaah, meskipun kadang aku agak berlebihan dan manusia-manusia seperti hidup di tengah lautan. Sekali lagi ketahuilah, ini adalah perintah Tuhan, dan aku tidak mungkin menolak atau mengingkarinya semudah kamu dan teman-temanmu melakukannya. Aku hanya mengingatkanmu bahwa kau punya janji. Janji adalah janji teman, dan itu akan di bawa sampai mati kalau tidak ditepati.”
“Ya...ya...aku akan berangkat, lagi pula aku memang ingin segera melihat wajah cantik itu. Tapi kalau aku boleh meminta, janganlah terlalu cepat jalanmu ke tanah. Pelankan sedikit kecepatanmu pada kecepatan gerimis. Bukankah semakin kencang dirimu, akan semakin sakit saat kau menumbuk tanah?”
“Teman, aku bukan benda pejal seperti kalian. Aku adalah cair dan tanah itu pun tidak padat, ia berongga. Pelan atau cepat, aku tetap akan terserap meski kadang lama. Tapi baiklah, aku akan berusaha menyampaikan permintaanmu kepada teman-temanku yang lain. Namun keputusan tetap di tangan Tuhan.”
Aku pun segera bergegas ke tempat seseorang yang padanya ku berjanji datang. Ku segera menstater motor, dan melaju menyusuri jalan-jalan yang agak sepi karena keengganan orang-orang untuk berbasahan. Aku tidak sendiri, aku masih ditemani hujan yang tak henti-henti mengguyur.
“Hei!!” kataku pada hujan. “Kadang kau tak muncul dalam waktu yang lama, apa yang sebenarnya kau lakukan?”
“Adanya aku adalah dari siklus atau perputaran. Saat aku jatuh, aku terserap lalu tertahan oleh akar-akar pohon yang ditanam manusia lalu aku muncul pada sumber-sumber air seperti sumur, danau atau mengalir ke laut untuk kemudian sinar matahari mengubahku ke bentuk lain yang sangat ringan, berkumpul menjadi awan dengan banyak model, cumullus atau cirrus. Dan angin-angin itu menggesekkan panasnya hingga aku pun berubah wujud lagi seperti semula, cair dan jatuh ke bumi. Namun karena ada sebagian atau mungkin banyak manusia yang merusak alamnya, menjadikan siklusku tidak lancar, bukan siklus kewanitaan, tapi siklus kehujanan. Tapi yang paling tak bisa ku sangkal, adalah kadang-kadang Tuhan menahanku untuk waktu yang lama agar tak mengunjungi bumi, ini adalah hak preogatip-Nya. Karena Tuhan masih terlalu sayang pada penduduk bumi, sehingga mereka selalu diingatkan, meski kadang tak merasa.”
Aku hampir ngantuk mendengar penjelasan hujan yang panjang, lebar dan tinggi kalau saja tidak tersadarkan oleh lampu merah. Aku berhenti, dan ku rasakan bagian dalam tubuhku dingin dan basah.
“Hujan!!!” kataku lantang sambil menunduk ke bagian perut ke bawah, “Mengapa kau sampai masuk-masuk ke situ? Apa tak kau lihat seluruh badanku sudah keriput karena ulahmu, masih ingin kau buat keriput lagi bagian itu?”
“Apa yang bisa ku lakukan? Tuan gravitasi telah menarikku melalui serat-serat baju dan celanamu. Sebenarnya ku ingin berhenti diantara langit dan bumi hingga membuatku seperti tirai yang memenuhi bumi ini. Namun ku rasa guru kelasmu sudah pernah memperkenalkanmu perihal tuan gravitasi yang mempunyai nilai hampir sepuluh, yaitu 9,8 dan kita tak mungkin menghindarinya.”
Tak ku gubris lagi hujan itu yang membawa-bawa nama guruku. Padahal guru-guruku tak semuanya mampu menjelaskan perihal tuan gravitasi meskipun bertitel S1, S2, atau es thung-thung. Selain itu juga karena aku sudah sampai di depan rumah seorang gadis yang padanya ku berjanji. Ku rapikan diri yang telah kumal oleh hujan dan ku siapkan hatiku untuk memandang wajah cantik itu.
“Theeet...theeet...,” ku pencet bel yang menempel di tembok pengait pintu gerbang. Soerang wanita setengah baya muncul.
“Cari siapa Mas?” Tanyanya.
“E...e...anu Dini nya ada?” Jawabku menyebut nama seorang gadis.
“Oo...mbak Dini nya lagi keluar Mas!” Jawab wanita itu.
Ku dengar di belakangku serentetan suara hujan yang makin deras seakan bersorak untukku, tapi ku yakin bukan itu maksudnya. Ku tunggu, sedetik...dua menit...tiga puluh menit...dan satu jam pas tak kurang tak lebih, belum juga pulang. Akhirnya aku mohon diri dan ku pacu motorku kembali ke barak, maksudku ke kost. Lagi-lagi tidak sendiri, aku masih ditemani hujan yang selalu setia malam itu. Bedanya mereka tidak lagi banyak omong, mungkin mereka juga merasakan kekecewaanku. Aku juga yakin, hujan-hujan itu tak tahu jika akan seperti ini. Mereka hanya mengingatkan janji yang telah ku buat, dan itu harus ditepati. Yaah...walaupun akhirnya hanya sebuah janji hujan.
Tubuhku benar-benar keriput oleh hujan, tidak hanya badanku, tapi benar-benar seluruh tubuhku dari yang terluar sampai yang terdalam ketika aku sampai di depan kamar kost. Di pintu ada selembar kertas tertancap sebuah push pin dengan tulisan cakar ayam, tapi masih bisa terbaca:
“Tadi ada telpon dari Dini, ia nggak di rumah. Keluar nonton. Sorriii...”
(Jogja, January 30, 2004)