Tuesday, May 19, 2009

DALAM RENTANG (sebuah naskah)

Menghampar tidak begitu luas satu tanah yang tertutup hijau rumput. Dedaunan kering masih saja berguguran, berayun di udara dan hinggap di helai rambut seorang gadis yang menunggu. Angin-angin masih asyik bersendau gurau dengan rimbunan pohon menari-nari disela-sela ranting mengusir sisa hangat siang tadi.
Sang gadis memandang segelintir yang lewat, meski tak satupun yang diharap terlihat, sejenak seseorang menyandarkan pinggangnya di sandaran kursi membelakangi sang gadis, sambil kedua tangannya memegang sandaran, sang gadis melirik....

Maya : ”Kita pernah mengalami ini..”
Ipung : ”Apa, seseorang menunggu dan yang lainnya terlambat?”
Maya : ”Bedanya, Aku dulu yang terlambat, dan sekarang Aku yang menunggu.”
Ipung : ”Ku harap Kau tak lebih lama dariku.”
Maya : ”Lama atau sebentar, toh akhirnya kita bertemu...rentang waktu yang membawa kita pada hari ini.”
Ipung : ”Aku hanya mengikuti alur terkecil yang ada dalam benakku, yang sempat tersekat untuk beberapa saat, beberapa saat yang tidak bisa dibilang sekejap. Hingga akhirnya terbuka, dan memberi tanya, ada apa?”
(diam)
”Kau merindukanku?”
Maya : ”Hahaha.....Kau tak pernah berubah, selalu memikirkan fantasi.”
Ipung : ”Fantasi-fantasi itu adalah sebuah potensi, saat mereka menemukan perbedaan elevasi, maka fantasi-fantasi itu akan bergerak dan menghasilkan energi yang dahsyat.......kenyataan!”
Maya : ”Kau terlalu menghayati The Secret?”
Ipung : ”Aku tak sepenuhnya percaya dengan itu, saat mereka mengabaikan campur tangan Tuhan. Karena Tuhan selalu punya kendali terhadap pikiran kita, siapapun, dimanapun dan kapanpun termasuk kita dan hari ini.”
(angin seketika bersiul riuh mengadu ranting, yang tua patah dan terhempas ke tanah)
(keduanya diam)
Ipung : ”Jadi.....kau merindukanku?”
Maya : ”Kau pun?”
Ipung : ”Hmmm......mengapa jawaban selalu punya kecepatan rendah, saat pertanyaan melesat?”
Maya : ”Sebab, pertanyaan hati berbicara tentang dua sisi yang tak selalu mudah dihayati.”
Ipung : ”Kau takut negasi?”
Maya : ”Lebih indah jika seirama, mengalun membentuk nada mencipta rasa tanpa interupsi.”
Ipung : ”Aku pernah membicarakannya dengan seseorang, dan akhirnya Aku menemui kenyataan, tak ingatkah?”
Maya : ”Jangan selalu menganggap berulangnya waktu membawa kesamaan isi. Sungai tak selalu membawa sampah, ada juga biota indah disana.”
Ipung : ”Kita tak selalu tahu bagaimana mendatang? Empirisisme adalah salah satu dasar yang bisa dipakai untuk memprediksi.”
Maya : ”Mengabaikan x-ternal factor?”
(seekor burung hinggap di tanah, mengambil sepotong ranting dengan mulutnya dan terbang lagi, yang lain riang di dahan mengisi telinga yang menyimak)
Ipung : ”Jadi?”
Maya : ”Ya...!”
Ipung : ”Hmmm...., (diam) Bagaimana dengannya?”
Maya : ”Masing-masing mempunyai ingin, menyatu menjadi harap dan mengisi setiap waktu...”
Ipung : ”Aku mendengar....”
Maya : ”Dia datang dan aku menyambut, begitu sebaliknya tanpa melepaskan hati...”
Ipung : ”Lalu...?”
Maya : ”Bunga mawar terbaik yang bisa ditemukannya pernah menempel di pintu kamarku saat Aku mengulang tahun. Hingga teman-teman kost ku yang lain berhamburan keluar karena harumnya.”
Ipung : ”Hmmm......berlebihan!”
Maya : ”Hihihih....aku pernah melihat wajah itu.” (sambil melihat ekspresi wajah Ipung)
Ipung : ”Wajah apa?”
Maya : ”Wajahmu yang seperti itu..., aku masih mengingatnya....wajah seperti itu muncul saat ada coklat di meja kelasku. Waktu itu seketika langit tertutup awan hitam, geledek menyambar-nyambar, angin meliuk-liuk membawa serpihan kertas yang berserakan di dalam kelas....”
Ipung : ”Hiperbola...!!”
Maya : ”Hihihi...padahal, itu kan coklat dari Dessy teman semejaku yang ibunya punya usaha aneka makanan yang terbuat dari coklat. Lagian kita kan bukan apa-apa waktu itu, pacar juga nggak.”
Ipung : ”Hmm...”
Maya : ”Dulu...Kau cukup misterius bagiku, satu orang yang menatapku dari sekian banyak wajah lelaki putih abu-abu. Entah mengapa, saat melihatmu ada semacam harapku di matamu, meskipun kata-kata mu untuk tak sebanyak pandanganmu padaku.”
Ipung : ”Aku hanya mengikuti naluriku.”
Maya : ”Naluri itu juga potensi, ia harus menemukan jalannya untuk bisa menghasilkan energi yang dahsyat.....kenyataan!”
Ipung : ”Itu kata-kataku”
Maya : ”Kau referensiku”
Ipung : ”Hmm....”
Maya : ”Hmm??, tak adakah kata-kata untukku selain hmm....?”
Ipung : ”Itu ekspresi, jangan mendebatnya.”
Maya : ”Kau masih sama, sama misteriusnya seperti dulu..”
Ipung : ”Kecuali perasaanku...”
Maya : ”Perasaan??”
Ipung : ”Padamu!”
(theng!!)
Maya : ”Ah, sama saja, masih misteri.”
Ipung : ”Setiap orang membawa misterinya masing-masing.”
Maya : ”I am a real girl!”
Ipung : “Oh, sekarang kau menggunakan bahasanya Cinta Laura?”
Maya : ”Jangan mulai.....hanya karena kau tak pede menggunakannya.”
Ipung : ”Kita lahir di atas tanah yang sama, apa yang Kau ucapakan dalam bahasa tanah kita, aku sudah bisa memahaminya baik aksen ataupun makna yang menyertainya, tak perlu mengucap bahasa tanah orang lain.”
Maya : ”Itu ekspresi, jangan mendebatnya!”
(theng!!)
Ipung : ”Kau menikah?”
Maya : ”Belum, Kau?”
Ipung : ”Nanti.....”
Maya : “Kau menungguku?”
Ipung : „Perasaan itu tidak bisa dipaksakan pada setiap orang yang kita temui, karena perasaan bukan permainan yang bisa singgah dan berlalu begitu saja pada seseorang. Lobby jiwanya dan eksploitasi raganya, lalu pergi dan berganti...”
Maya : ”Kau akan menemui banyak pemberontak dari pikiranmu itu di jaman ini, walaupun aku sependapat untukmu.”
Ipung : ”Jiwa itulah kunci dari raga dan sikapmu, begitu kau serahkan tanpa akad pada orang yang lupa, maka...”
Maya : ”Apa?”
Ipung : ”Tidak...”
Maya : ”Kau takut?”
Ipung : ”Iya!”
Maya : ”Mengapa?”
Ipung : ”Orang yang lupa biasanya tidak lupa untuk membuat alasan, menciptakan teori, rumusan bahkan undang-undang bahwa sikap ke-lupa-annya itu menjadi hal yang bisa diterima.”
Maya : ”Kau pernah lupa?”
Ipung : ”......Jika yang kau maksud aku lupa untuk bilang perasaanku padamu saat aku masih lugu dulu,.....ya, aku pernah lupa.”
Maya : ”Kau menungguku?”
Ipung : ”Aku merasakanmu..”
Maya : ”Ah, perasaan itu abstrak, terlalu banyak makna, mencabang beribu intepretasi!!!!”
(theng!!!)
Ipung : ”Apa yang kau cari?”
Maya : ”Kau!”
Ipung : ”Lalu?”
Maya : ”Hatimu!”
Ipung : ”Lalu?”
Maya : ”Jawabanmu!”
(theng!!!)
Ipung : ”Hmm...Aku tak bisa menunggu seseorang yang dipunyai....”
Maya : ”Seseorang yang dipunyai tak seharusnya bertemu dengan lain.”
Ipung : ”Tapi Kau pernah melakukannya...”
Maya : ”Aku sudah janji sebelum dipunyai.”
Ipung : ”Jadi...??”
Maya : ”Ya..!!”
Ipung : ”Mengapa?”
Maya : ”Jangan tanya....sebab, sekarang Aku disini.”
Ipung : ”Untukku?”
Maya : ”Untuk kita.....”

*****

<>Sulewana, 01 Maret 2009<>

Sunday, May 3, 2009

Siang Itu...

Bus itu masih berdiam di perempatan sambil menunggu penuh penumpang datang. Satu…dua…orang-orang dengan berbagai kepentingan itu mulai menempati kursi yang tersusun dua dan tiga banjar di sisi kiri dan kanan.
Seorang ibu menggendong anaknya yang masih kecil lengkap dengan tentengan perlengkapan bayinya, bapak tua berkacamata yang sedang asik membaca koran penuh dengan berita krisis global, serta sepasang muda-mudi yang tak jarang mengumbar kemesraan di sebanyak pasang mata laksana dunia milik berdua.
Ah, panas sekali di luar sana, seandainya saja bus ini tak dilengkapi alat penyejuk udara, pun hawa-hawa panas itu kan menyerbu ke dalam menggesek kulit memproduksi peluh, tumpah dengan beraneka macam rasa di hidung dari orang-orang.
Televisi yang terpasang di bagian depan bus itu masih menyala dengan acara kartun anak saat seorang pengamen naik dan mengecilkan suaranya untuk kemudian berdendang menyanyikan lagu dengan suara ala kadarnya, sekadar bersuara untuk mendapatkan receh yang sekadarnya pula. Namun, tak dipungkiri bahwa tidak semua pengamen bernayanyi apa adanya, ada juga yang serius sampai urat-urat lehernya mengembang bak pipa-pipa kehidupan yang kadang mengembang dan mengempis, dan dengan perjuangan yang berat akhirnya menjadi salah satu idola negeri ini. Iya, seorang pengamen yang menjadi idola, seperti salah satu nama acara di tv from zero to hero. Namun jumlahnya tak sebanding dengan ratusan bahkan jutaan pengamen jalanan yang tersebar di seluruh jagat Indonesia semesta ini.
Ah, panas sekali di luar sana, ketika segerai rambut berjepit bunga kecil itu tersibak menampakkan seraut wajah seorang gadis, berbaju putih dengan motif kotak warna hitam dan kerutan di kedua ujung lengan pendeknya, menenteng ransel berjalan ke belakang mencari kursi yang tersisa. Penyegar udara semakin kencang berhembus mendinginkan aliran darah yang menguap. Mata-mata adam malu mencuri lirik pada yang demikian, seakan tak pernah puas dengan miliaran bentuk keindahan hawa yang di cipta Tuhan.
Hmm...

Jejak Kabut

Berbicara tentang hutan ini, tak bisa lepas dari membicarakan kabut. Kabut dalam arti yang sesungguhnya, bukan kabut yang sering dilukiskan oleh penyair, bukan kabut yang terlihat di layar kaca, namun kabut yang benar-benar ku alami.
Siang kemarin, hujan telah berpesta di bumi, mendekap hutan dengan kebasahannya dan menyejukkan hidung penghuninya, pun tak lupa mencetak jejak tanah yang menggelayut di alas kaki.
Sore beranjak maghrib, saat segerombolan kabut menyerbu dari atas gunung turun ke lembah secara kolosal, bak film perang china tempo lampau. Perlahan namun pasti, sisi-sisi pandang manusia terhapus dari mata yang kabur, hanya sekerlip lampu-lampu perumahan yang berpijar bagai bintang, dan kulit mulai merapatkan porinya terpeluk kabut yang menggigil. Aku menikmati waktu ini yang tak kan ku dapat di Cileungsi selain polusi yang bisa mematikan ereksi.
Kabut semakin dominan, menjelajah disetiap sudut ruang meninggalkan lembab di tangan. Orang-orang lebih memilih tinggal di dalam rumah, bertemankan kopi panas dan berbatang-batang rokok yang tersulut sambil melihat TV beraneka channel luar negeri dari pada sejenak menyambut kabut.
Kabut tak datang sendiri, melainkan bersama angin yang mengantar....
Keberadaannya hanya mengikut kemana mereka dibawa tanpa protes, dan lepas maghrib hutan telah kembali terlihat mata tersapu oleh jejak kabut yang kan berulang esok hari di sini.
<>Sulewana, di sore hari<>