Berbicara tentang hutan ini, tak bisa lepas dari membicarakan kabut. Kabut dalam arti yang sesungguhnya, bukan kabut yang sering dilukiskan oleh penyair, bukan kabut yang terlihat di layar kaca, namun kabut yang benar-benar ku alami.
Siang kemarin, hujan telah berpesta di bumi, mendekap hutan dengan kebasahannya dan menyejukkan hidung penghuninya, pun tak lupa mencetak jejak tanah yang menggelayut di alas kaki.
Sore beranjak maghrib, saat segerombolan kabut menyerbu dari atas gunung turun ke lembah secara kolosal, bak film perang china tempo lampau. Perlahan namun pasti, sisi-sisi pandang manusia terhapus dari mata yang kabur, hanya sekerlip lampu-lampu perumahan yang berpijar bagai bintang, dan kulit mulai merapatkan porinya terpeluk kabut yang menggigil. Aku menikmati waktu ini yang tak kan ku dapat di Cileungsi selain polusi yang bisa mematikan ereksi.
Kabut semakin dominan, menjelajah disetiap sudut ruang meninggalkan lembab di tangan. Orang-orang lebih memilih tinggal di dalam rumah, bertemankan kopi panas dan berbatang-batang rokok yang tersulut sambil melihat TV beraneka channel luar negeri dari pada sejenak menyambut kabut.
Kabut tak datang sendiri, melainkan bersama angin yang mengantar....
Keberadaannya hanya mengikut kemana mereka dibawa tanpa protes, dan lepas maghrib hutan telah kembali terlihat mata tersapu oleh jejak kabut yang kan berulang esok hari di sini.
<>Sulewana, di sore hari<>
No comments:
Post a Comment