Thursday, June 11, 2009

Ningsih Dalam Sepotong Gethuk (bag. 01)

Aku tak merasakan apa-apa waktu itu, Sih. Hanya mengalir begitu saja, seperti biasa. Mengingatkan pertemuan kita pun terjadi dengan begitu saja. Kita tak merencanakannya sebelumnya. Kau tiba-tiba muncul di depan gerobak gethuk itu untuk membeli penganan yang terbuat dari singkong, kalau orang jawa menyebutnya pohong. Waktu itu pun aku membelinya, karena gethuk adalah makanan local yang dikenalkan keluargaku padaku. Yaah itung-itung untuk membantu pemerintah menggalakkan cinta akan produk local. Sebab, hamburger, Dunkin Donat masih terlalu tinggi untuk perekonomianku, selain itu, bungkusnya juga terlalu mewah untuk ku pajang di rumah. Kau kan tau Sih, bapak dan simbokku pekerjaannya hanya mengaduk-aduk tanah, menanaminya, dan kalau beruntung akan menuai hasilnya. Itupun pas memenuhi kebutuhan orang serumah.
Aku tak beranjak dari gerobak gethuk, terlalu sayang meninggalkan wajah yang menentramkan itu, ya..wajahmu Sih, serasa menentramkanku. Ah, penyakitku mulai kambuh saat melihat gadis cantik. Kau dengan penampilan sederhanamu, kaos putih bergambar mickey mouse di tengah dipadu dengan celana pendek selutut dan rambut sebahu yang diikat, benar-benar menampilkanmu apa adanya. Apa adanya yang istimewa, tentu saja tak terlepas dari wajah cantikmu. Putih, bersih dengan alis memanjang datar hampir menyatu seakan menegaskan tatapan matamu yang tajam. Kau pun hanya menatap malu penuh selidik saat kuperhatikan terus dirimu. Mungkin kau beranggapan aku terlalu lancang dengan menatapmu. Hingga akhirnya sebungkus klepon dan gethuk yang disodorkan tukang gethuk memecah lamunanku akanmu. Kau berlalu dan berjalan menjauh.
Aku tak merasakan apa-apa, Sih. Saat ku kejar dan ku hentikan dirimu. Kau kaget waktu itu, terlihat dari ekspresi wajahmu menunjukkan rasa tidak suka. Dengan sopan ku sapa kamu dan ku utarakan maksudku ingin berkenalan. Kau ragu, dengan masih membawa bungkusan gethuk, kau amati aku dari ujung rambut sampai ujung kaki, kalau-kalau ada yang kurang. Tapi kau tak menemukanya sebagai satu kesatuan tubuh. Mungkin yang kurang dari diriku adalah uang, rupiah terakhirku telah berpindah ke tukang gethuk. Ku ulangi lagi untuk mengajakmu kenalan, ku sebutkan namaku sambil menjulurkan tangan. “Ipung!!”, kataku tegas, seakan namaku adalah nama yang keren. Kau masih ragu, dengan perlahan kau juga mengangkat tanganmu. Kulihat selonjor tangan yang bersih dengan bulu-bulu tipis mengitarinya tampak manis. Ah, lagi-lagi penyakitku kambuh.
“Ningsih!”, jawabmu lirih. Ku jabat erat tanganmu seakan tak ingin ku lepaskan, tapi kau memberi isyarat dengan matamu. Lalu ku coba mengajakmu ngobrol sambil jalan menanyakan segala sesuatu tentang dirimu. Yang terpenting adalah dimana rumahmu, agar aku bisa singgah menyusun angan dan perasaan. Kau agak tertutup saat kita ngobrol, hanya kata-kata pendek yang keluar dari mulutmu setiap kali ku bertanya. Malam itu memang tak berbulan hanya kedipan-kedipan bintang yang bersemayam di langit malam dan singah ke bumi bersama kedua matamu. Akhirnya kau membelok di persimpangan depan, karena rumahmu nomor dua sebelah kanan setelah belokan. Sambil melihatmu pergi, dengan lirih kuucapkan terima kasih atas obrolannya dan ku berjanji untuk main ke rumah keesokan harinya.
-->

No comments:

Post a Comment