Thursday, June 11, 2009

Ningsih Dalam Sepotong Gethuk (bag. 02)

Aku tak merasakan apa-apa,Sih. Hanya perasaan senang dan ingin segera ketemu dengan kamu saat ku pertama kali main ke rumahmu. Pagar dengan tinggi sepinggang mengitari sebuah rumah bercat hijau dengan hamparan taman tersusun rapi. Bouganville aneka warna di sebelah kiri berpadu dengan melati yang tampak baru kuncup menebarkan pesona alam berpadu dalam keindahan. Ada juga sebuah pohon mangga besar berhias anggrek di sepanjang batang. Lalu dirimu muncul dari pintu bertahtahkan ukiran jawa coba menyambutku. Aku merasa senang Sih, melihatmu segar dengan rambut masih basah sehabis mandi menebar senyum ke arahku. Sunggguh, ada yang mendesir di dada, Sih. Tapi aku pura-pura tidak tahu apa itu, yaah, kemunafikan lelaki terhadap kecantikan perempuan yang memunculkan perasaan-perasaan suka. Kau mempersilakanku duduk di kursi taman yang terbuat dari bamboo. Kita ngobrol, becanda dengan banyolanku yang sengaja kurancang untuk membuatmu tertawa. Hingga tak jarang saking kerasnya tawamu, setiap orang yang lewat selalu menoleh ke arah kita, tak terkecuali orang tuamu yang sesekali melongok dari dalam rumah.
Aku tak merasakan apa-apa, Sih. Saat pertemuan kita berulang dan semakin sering dan kau pun tak enggan menjalaninya. Aku datang ke rumahmu setiap kali ku ingin melihat wajah cantikmu, dan sayangnya setiap detik ku ingin melihatmu. Maka seharusnya setiap detik pula aku harus ke rumahmu, tapi itu tidak mungkin. Aku siapa dan kau siapa. Kita juga bukan suami istri, setidaknya belum. Meski itu cita-citaku yang ingin ku usahakan. Aku mulai berani mengajakmu keluar, sekedar jalan-jalan masuk pertokoan atau pergi melihat tontonan. Karena di desa kita sering ada layar tancep dengan film-film lokal tempo dulu. Tapi bukan itu yang terpenting, karena selalu ada di dekatmu, ngobrol denganmu, dan tentu saja menikmati wajah cantikmu adalah lebih dari segalanya. Kadang kita pulang larut, dan ayahmu sudah berdiri tegak di depan pintu membuatku bergeming. Dalam anganku selalu ku pikirkan ayahmu berdiri dengan seragam besi memanggul sebuah gada, seperti senjata bima dengan tutup kepala bertanduk dua, bersiap-siap melumat diriku karena membawamu. Tapi itu tidak terjadi, ayahmu hanya diam saja dengan tatapan mata tajam dan itu cukup membuatku sadar untuk lebih berhati-hati dan tahu diri.
Aku tak merasakan apa-apa, Sih. Melihatmu setiap pagi pergi sekolah. Sekolah yang tidak perlu lagi berseragam, kalau orang-orang menyebutnya sekolah kuliah. Yaah, aku memang tidak pernah merasakannya, meski itu bukan keinginanku. Ingin ku gantungkan cita-citaku setinggi langit, namun langit itu bertingkat-tingkat dan aku hanya mampu meraih langit pertama dan kau dengan orang-orang setingkatmu terus melaju menggapai langit-langit lain yang lebih tinggi. Aku tidak menyesal, Sih, karena aku yakin Tuhanku tahu bagaimana memperlakukanku. Aku bersyukur mengenalmu, jadi aku tahu sedikit bagaimana orang yang sedang sekolah kuliah. Dengan tas pinggang itu kau berjalan menuju ke sekolahmu melewati hamparan sawah yang padanya ku setiap hari bergumul, yaah petani dan sawahnya. Kita memang berbeda dari segi ijasah-ijasahan, tapi kupikir kita sama dalam berandai dan berangan. Aku berangan memilikimu, dan kau berandai... ...ah, aku tak tahu apa yang kau andaikan. Seandainya saja sama.
”Pung, Banguuuuun!!!!!!!” teriakku pada otakku. “Hidup ini tidak hanya berandai dan berangan, ada yang harus dikerjakan. Baguuuun, jalan, dan kerjakan apa yang bisa dikerjakan!!”
“Biarin!! Lha wong mikir tentang Ningsih kok ndak boleh!” jawab otakku tak mau kalah.
Saking serunya diriku dan otakku berselisih, sampai-sampai tak bisa dilerai. Hingga suara itu memisahkannya.
“Pung, lagi ngapain, kok bengong? Jangan kebanyakan ngalamun, ntar kemasukan setan.” Kata suara itu.
Aku memang tak asing dengan suara itu, siapa lagi kalau bukan suara Ningsih yang terkasih. Ternyata ia tadi memperhatikanku. Dalam hati aku berucap, “kalau setannya kamu aku nggak keberatan.”
“E...e...enggak kok, Cuma lagi mikir tentang...” aku kebingungan menjawab, lalu kataku sekenanya, “...lagi mikir tentang gethuk!
Kau agak bingung mendengar jawabanku, Sih. Kau bertanya ada apa dengan gethuk? Dan aku pun menjawab bahwa gethuk itu enak, meski makanan lokal, kalau dibuat beraneka rupa, maka menjadi makanan yang istimewa. Kau pun mengiyakannya, meski kau mungkin tak menyadari jika pertemuan kita pun bermula dari gethuk. Lalu aku mengajakmu makan gethuk seperti yang dulu pernah kita beli di tukang gethuk itu esok sore di gubuk pematang sawah. Kau tak keberatan dan ku tunggu hari itu.
-->

No comments:

Post a Comment