Monday, February 18, 2013

Penarik Rakit dan Sang Angsa


Penarik rakit menambatkan rakitnya diiringi suara adzan maghrib, senja merah terlihat di sisi barat sedang danau bersiap memulai simfoninya. Ia berjalan menuju pondok bambunya yang telah ditempatinya selama bertahun-tahun. Daun-daun kering pohon bamboo berserakan di halaman rumahnya, tak pernah ia membersihkannya dibiarkan menutupi tanah. Itulah yang memberinya kedamaian alam yang sesungguhnya. Penarik rakit terjaga dari tidur saat serombongan berkas sinar mentari menerobos lewat celah-celah bilik mambunya. Ia terlambat memulai hari dari yang seharusnya, subuh telah jauh meninggalkannya dan terperangkap oleh pagi yang terang. Seakan-akan mulai berhitung tidak dari angka pertama, tapi dari tiga atau empat, ada yang hilang. Penarik rakit selalu ingin memulai dari garis awal bersama mahluk lain menjalani sampai garis akhir hari, tapi tidak kali ini. Ia duduk termangu disisi pinggir tempat tidurnya, mengingat apa yang berbeda dengan malam lalu yang berdampak hari ini. Penarik rakit telah membuka berlembar-lembar gambaran sang angsa di memorinya semalam, memberinya sensasi perasaan yang berganti-ganti tergantung lembaran mana yang sedang ia buka. Berulang….berulang….lagi…dan lagi….sampai dini hari menjadi permulaan ketidak-terjaga-an nya. “Pengalaman adalah guru yang paling baik, dan memori yang tersimpan adalah pembentuk diri kita”, gumamnya. Hmmm…ia berjalan keluar menengok rakit yang masih tertambat dengan embun-embun yang sepenuhnya telah manguap. Ia telah kehilangan keindahan pagi, pergantian dari yang gelap ke yang terang, dari yang sunyi jangkrik ke yang riuh ayam jantan, semua itu tak didapatkannya karena inginnya menghampar kisah lalunya. (Sulewana, 18 Desember 2011)

No comments:

Post a Comment