Sunday, April 19, 2009

Janji Hujan 03 - Sepotong Bibir Dalam Spion

“E….e….anu…., jangan kau tanya bagaimana perasaanku.”
“Sebab, e…. e…., aku…., aku….”
*****
Aku masih mengamati rintik hujan yang turun di bawah lampu kota. Butiran-butiran kecilnya jatuh lebih pelan dari kelihatananya, semakin lama ku perhatikan seperti jatuhan meteor yang menghujami bumi dalam serpihan-serpihan kecil, mengenai wajahku dan menguap.
Puisi-puisi itu pun masih diteriakkan dari mulut-mulut anak negeri yang peduli dengan saudaranya, pergantian tahun tanpa terompet dan kembang api, demikian mereka menyebut aktivitasnya, dan rupiah pun terkumpul untuk Aceh.
Mataku sudah mulai merah melihat lalu lalang kendaraan bermotor yang mengeluarkan emisi gas buang berlebih, saat ku lihat sepotong bibir seorang gadis di kaca spion motorku. Dari dagu sampai bibir, sedangkan hidung ke atas tidak terlihat terpotong kaca spion. Bibir yang tipis manis, simetris, agak merah dengan dagu yang terbelah, singgah pada sesosok tubuh yang sendiri.
Ku hampiri gadis berjilbab pemilik sepotong bibir manis yang ada dalam spionku itu.
“Sendirian?” sapaku basa basi
“Iya!” jawabnya singkat
“Mm..mm…boleh kenalan?”
Gadis itu menatapku, lalu mamalingkan wajahnya dan diam.
“Ok, nggak papa kalau nggak mau kenalan, setidaknya aku sudah berusaha menyapa dengan itikad baik.” Kataku menanggapi sikapnya yang dingin.
Gadis pemilik sepotong bibir dalam spion itu masih saja membisu diantara suara-suara terompet yang sesekali dibunyikan dari pengendara sepeda motor.
“Eh, ada apa dengan matamu?” tanyaku tiba-tiba pada gadis di sampingku itu.
Dia agak kaget dan mengusap-usap matanya, mencari-cari kalau ada yang salah. Dia memandangku seakan menanyakan apa yang salah dengan matanya.
“Kenapa di matamu ada cahayanya, biar ku lihat sebentar.” Kataku. “Oo…ternyata bintang. Bintang-bintang di angkasa itu memantulkan cahayanya di matamu, makanya matamu seperti bersinar.”
Gadis pemilik sepotong bibir dalam spion itu tersenyum, menahannya dalam lesung pipit.
“Lailla!!” ucapnya tiba-tiba dengan mengangkat tangannya.
Ku lihat jari-jari yang lentik, putih bersih menjulur ke arahku. Tanpa banyak waktu, ku sambut tangan itu.
“Ipung!!” Balasku menyebut nama.
Kata Einstein, besarnya cinta yang dihasilkan sama dengan jumlah rayuan dikalikan jumlah kuadrat waktu bertemu, dan aku sedang membuktikan postulat ini.1) Percakapan kami mulai berkembang tanpa hambatan, lama, hingga akhirnya ku tawarkan untuk mengantarnya pulang. Sejenak ia merasa ragu, namun akhirnya ragu itu menguap dengan semakin hangatnya rayuan..
Ku lewati jalanan itu dengan hati riang dan rintik hujan juga masih menyelubungi bumi atas nama gerimis yang mengiringi. Ku tengok kaca spion, sepotong bibir itu masih ada. Bedanya, sepotong bibir itu bersamaku sekarang. Motorku melaju menyusuri jalanan yang seakan sudah ku kenal dan berhenti di sebuah rumah yang aku tidak asing lagi.
“Kamu kost disini?”
“Iya! Kenapa?”
“ Kau kenal Dini?”
“Mbak Dini? dia adalah kakakku!”
*****
“Oaaaaahh!”
Pagi yang indah, meski agak sedikit menjengkelkan. Bangunku bukan karena keinginan, tapi terpekakkan oleh teriakan motor teman kost yang mem-bleyer seenaknya, ditambah asap knalpot dua tak-nya menjejal masuk kamar bagai embun-embun polusi yang menyesakkan dada. Tapi aku tetap bersyukur, karena masih bisa bangun dari tidur, terus mandi, dan tidak lupa menggosok gigi, seperti lagu yang sering didendangkan anak-anak.
Suara HP memantul nyaring ditembok kamar, bergetar, muncul sebuah nama berkedip-kedip diantara nyala lampunya.
“Hallo……..?”
“Bisa!! Aku akan kesana sekarang”
*****
Aku sudah sampai di depan rumah yang yang tadi malam baru saja ku singgahi. Dini sudah duduk di sebuah kursi bambu depan rumah. Dengan agak ragu ku hampiri Dini dan duduk disebelahnya. Aku masih ingat betul bagaimana kejadian beberapa minggu lalu.
“Mau minum apa Pung?” katanya menawari sesuatu
“Apa aja deh.”
Dini segera masuk ke dalam dan beberapa saat kemudian telah membawa segelas sirup nutrisari dalam sebuah mug berhiaskan gambar Mickey Mouse.
Hari itu cerah, tidak seperti biasanya, dimana hujan selalu hadir di setiap waktu. Pun saat Dini mulai membuka pembicaraan.
“Aku minta maaf, Pung. Waktu itu………”
Ku abaikan omongan Dini, karena kalimat berikutnya sama seperti dalam mimpiku yang lalu. Aku pun menepuk-nepuk pipiku berulang kali, siapa tahu aku mimpi lagi, dan ternyata pipiku memerah karena tamparanku.
“Roy memang brengs….”
“Sudahlah!” ku potong kata-kata Dini.
“Kau memaafkanku? Makasih ya Pung.” Kata Dini setelah melihat anggukan kepalaku.
“Pung…….., sebenarnya kamu gimana sih? E…e…sebenarnya bagaimana perasaanmu padaku, Pung?”
Aku agak kaget, sedikit tersenyum dan lumayan bingung. Aku tahu arah pembicaraan Dini dan ini sebanarnya yang dulu ku nantikan.
“Pung!!!” suara Dini menyentakkanku dari lamunan. Aku agak bingung bagaimana harus menjawabnya.

“E….e….anu…., jangan kau tanya bagaimana perasaanku.”
“Sebab, e…. e…., aku…., aku…..aku cinta adikmu!!!!!”
“Hah!!!!” Dini kaget mendengar kata yang baru saja ku ucapkan. “Kamu cinta Lailla??? Bagaimana bisa?”
“Bisa saja, sebab getaran harmonis jiwaku berfrekuensi sama dengan getaran harmonis jiwa adikmu, sehingga apabila kami mengaturnya, bukankah akan terdengar nada yang indah?” 1)
Seketika tiba-tiba terdengar suara geledek merayap di udara mendekati pendengaran kami yang diam sehingga frekuensi yang didengar menjadi lebih tinggi.1) Seperti film-film Indonesia tempo dulu, setelah geledek lalu turunlah hujan deras, mengiringi Dini yang langsung lari ke dalam sambil sesenggukan mengeluarkan air mata kecewa.
Aku hanya bisa meihat kejadian itu dengan iba. Apakah aku salah? Apakah aku harus membohongi perasaanku? Yaaah….akhirnya ku starter motorku untuk pulang, meski hujan sedang ramai-ramainya berpesta.
“Bagaimana sikapku, hujan?” tanyaku pada air itu.
“Siiip!!! Cukup ilmiah penjelasanmu.” Katanya tanpa diikuti oleh acungan jempol, sebab mereka tak memilikinya.
Sebelum keluar dari pintu gerbang, ku lihat sepotong bibir dalam spion. Bibir yang sama dengan kemarin malam, berada di balik kaca jendela, dan tersenyum.

Jogja, February 10, 2005

1) John

No comments:

Post a Comment