Aku melihat ombak bergemuruh di laut, bergulung-gulung menerjang batu karang di pantai kenangan. Sekali, dua kali dan seterusnya hingga karang-karang itu tak kuat lagi menahan hantaman ombak yang kian ganas. Karang yang semula kokoh menjulang tinggi bak benteng pertahanan sebuah kastil, perlahan-lahan retak, berongga, dan akhirnya runtuh oleh air yang berujud ombak.
Karang dan ombak, laksana dua sahabat yang saling hidup berdampingan di lingkungan yang disebut pantai. Namun mengapa satu menyakiti yang lain? Ombak menerjang tak henti-hentinya pada karang. Seakan-akan karang mempunyai dosa masa lampau dan ombak menghajar karang memendam dendam kesumat. Atau mungkin di kehidupan yang lalu, karang dan ombak adalah sepasang kekasih. Keduanya hidup berdua menyulam benang-benang kasih menjadi kain kebahagiaan menyelimuti hari. Hingga akhirnya salah satu menghianati yang lain dan itu menumbuhkan kebencian yang mendalam sampai sekarang?
Ah, tak tahulah! Yang jelas aku bukan sang karang itu. Yang mudah rapuh diterjang ombak, yang mudah putus asa karena sikap ombak yang kadang datang pun tak jarang menjauh. Aku adalah……angin! Ya, akulah sang angin. Yang mendorong dan mengantarkan ombak menyusuri lautan dan akhirnya menyentuh pasir pantai dan tentu saja, menyapa sang karang. Aku adalah angin yang padaku burung-burung melambai-lambaikan sayapnya, berteriak merdu mengangkasa. Akulah angin yang selalu mengantarkan pesan-pesan alam. Meski kadang ku tak mampu menyampaikan pesan hati seseorang pada kekasihnya. Perasaan cinta seseorang itu terlalu berat untuk ku dekap dengan kedua tanganku, lebih berat dari besi bersayap dengan baling-baling di kedua sisinya.
No comments:
Post a Comment