Thursday, June 11, 2009

Ningsih Dalam Sepotong Gethuk (bag. 03)

Aku tak merasakan apa-apa, Sih. Waktu ku buka sebungkus gethuk dan menawarkanya padamu. Kau mengambil sepotong dan memakannya. Aku memperhatikanmu, kau memang cantik, Sih. Dengan baju putih lengan panjang dan rok panjang berwarna biru, benar-benar membuatmu anggun. Tak ada berbulir-bulir padi di sawah ini pun yang mampu mengenyangkan hatiku selain melihatmu. Kerudungmu masih terlilit di pundak dan Al Qur’an itu pun masih tergenggam erat di tangan kirimu. Seperti biasa, setiap sore kau menuju ke musholla untuk mengaji mempelajari kitab suci dan setelah itu perlahan derajatmu ditingkatkan.
Aku tak merasakan apa-apa, Sih. Tak ada keraguan sedikit pun di diriku dan otakku yang dulu pernah berselisih. Tak sehelai rumput di sawah dan tak ada setangkai padi pun yang menegakkan dirinya waktu itu. Waktu hatiku memutuskan untuk menempatkanmu lebih dari gadis-gadis yang ada, yang pernah ku kenal. Tak seorang gadis pun yang mengisi ruang-ruang hatiku sebanyak dan setenteram dirimu, Sih. Kau masih memakan sepotong gethuk itu, Sih, yang seakan terlalu banyak sehingga tak habis-habis, waktu hatiku mengucapkannya. Kau menghentikan makanmu, sepotong gethuk sisa masih ada di tanganmu, kau memperhatikanku tajam.
Aku tak merasakan apa-apa, Sih. Waktu kau ku tanya mengapa kau hentikan makanmu. Dengan senyum tipis, bahkan sangat tipis dan tertahan, kau berucap.
“Gethuk ini terlalu manis untuk ku telan, aku takut mencernanya. Aku takut lambungku tak mampu menyerap dan hatiku tak mampu merasakan rasa sayang gethuk ini.”
Aku mengambil sepotong gethuk dalam bungkusan dan memakannya, perlahan ku kunyah dan ku telan. Mengapa...mengapa...mengapa gethuk ini terasa pahit. Tidak seperti biasanya yang selalu enak dimakan.
Aku tak merasakan apa-apa, Sih. Aku pun masih bertanya, mengapa aku tak merasakan apa-apa? Merasakan apa yang kau rasakan waktu itu, Sih. Aku hanya merasakan gethuk itu terasa pahit tidak seperti biasanya. Dalam ketidakmampuanku merasakan rasa itu, kau meletakkan sepotong gethuk sisamu, memegang erat tanganku menatap tajam mataku. Tapi aku tak mampu memandang mata teduhmu itu, Sih, dan kau berlalu menyusuri pematang dan semakin jauh seiring suara adzan magrib yang berkumandang mengangkasa bersama senja merah di ufuk barat.
“......Khaya’alas sholaah, Khaya’alal falaakh.....” yah, ternyata Tuhan memang lebih tahu bagaimana memperlakukanku!!

No comments:

Post a Comment